Tiga lelaki memasuki ruang bersalin tanpa mengindahkan omelan si pemilik rumah. Ketiganya terpaku selama beberapa detik saat mendapati tubuh Ni Amba terbujur kaku dengan darah masih berceceran di sekitar selangkangannya. Melihat roman pucat wanita itu saja, mereka sudah tahu bagaimana kondisinya.
"Sudah kubilang dia dan bayinya meninggal. Sekarang cepat singkirkan asap oncor kalian itu dan bantu aku mengurus pemakamannya!"
Salah satu pria tinggi kurus menatap Nyai Kowi dengan menyelidik. "Di mana bayinya?"
"Goblok! Kalian tak melihat perut sebesar itu?" Nyai Kowi menunjuk perut Ni Amba yang masih tampak buncit. Sandiwara sebagai kedok menyembunyikan si bayi tampaknya berhasil.
Ketiga pria itu kembali ke halaman, tak merasa bersalah pada Nyai Kowi yang terus menggerutu akibat asap oncor yang memenuhi ruangan. Tak banyak yang tahu ia memiliki gangguan pernapasan, itulah alasan ia cuma memasang satu lampu minyak di dalam rumah.
"Rupanya Ni Amba dan bayinya sudah buang nyawa. Tapi, tak ada yang menjamin arwahnya benar-benar pergi meski tubuhnya sudah ditimbun tanah. Kalian tak mau, kan, dia bangkit untuk membalas dendam?" seru pria berjenggot putih yang sedari awal banyak cakap. Nyai Kowi menduga dialah korek api dalam kelompok masyarakat itu yang berperan menyulut semangat untuk memberantas kaum sesat.
Sorakan warga membahana, mendesak pria itu memberi komando untuk membakar jasad Ni Amba dan bayi yang masih di perutnya—begitulah yang mereka tahu. Nyai Kowi mengangguk saja saat pria tua itu menanyakan pendapatnya. Toh, ia pun tak mau mengurus jenazah itu sendirian.
Selepas warga berlalu dengan gumaman lega seraya menggotong mayat Ni Amba, Nyai Kowi menghela napas atas perasaan plong sekaligus kesal. Hampir semua warga itu berdesakan memasuki rumahnya yang kecil, membuat dinding-dinding bambu tampak reyot karena dipaksa menampung semuanya. Belum lagi, beberapa perabotan dari tanah liat pecah karena tersenggol.
"Dongok memang. Mana ada jenazah bangkit dari kubur."
Ia terus menggerutu sambil mengelap ranjang yang berbau amis darah. Kain-kain yang menjadi alas persalinan dimasukkannya dalam keranjang sebelum dipendam esok hari.
"Nyai, aku merasa bersalah sekali. Bagaimana jika bayi itu mati kedinginan?" Bagelen menyembul di ambang pintu persalinan selepas masuk lewat pintu belakang.
"Dongok! Kodok terbang!" Nyai Kowi terlonjak sampai punggungnya terantuk sudut meja di samping ranjang. "Aduh Bagelen keparat! Punggungku pasti besot gara-gara kau!"
Bagelen tertunduk lesu. Tenggorokannya kering sehabis berlarian menuju sungai yang jaraknya dua puluh depa dari kediaman dukun beranak itu.
Nyai Kowi masih mengusap-usap punggungnya yang tak tertutup kemban saat membelalak dengan tampilan pesuruhnya itu. "Bocah gendeng mana yang lari malam-malam sambil pamer buah dada...."
Bagelen ikut terbelalak kemudian menutupi dadanya dengan kedua tangan. Saking paniknya membuang bayi sampai lupa kondisinya sendiri. Untung malam itu tak ada orang yang melihat—setidaknya Bagelen harap begitu.
***
Rasa bersalah yang menyergap Bagelen hanya mampir sepintas. Selebihnya, hidup mesti terus berjalan. Ia tidak terkejut dengan perbuatan yang dilakukannya. Ia pernah melihat yang lebih parah dari tragedi semalam. Ia pernah mendampingi Nyai Kowi melakukan aborsi sesuai permintaan pasien. Bagelen sudah terbiasa melihat bayi-bayi tak berdosa itu kehilangan nyawa. Bahkan, ia terbiasa membantu Nyai Kowi mengubur bayi-bayi itu di kebun belakang rumah yang ditanami berbagai jenis bunga.
Bagelen tak pernah takut apabila kuburan berkedok kebun itu jadi angker, yang penting para demit di situ tak pernah menampakkan diri di penglihatannya. Ia cuma melaksanakan perintah Nyai Kowi, karena itu ia dibayar dan diizinkan mendiami tempat tinggal perempuan renta itu.
Bagelen tak pernah tahu masa kecilnya. Dari penuturan Nyai Kowi, gadis itu dititipkan ibunya saat berusia tiga tahun. Ibunya adalah prajurit wanita yang ditempatkan di ibukota dan tak memiliki waktu untuk kembali ke rumahnya.
Namun, makin besar Bagelen makin berpikir lain. Ia sempat menduga kalau ia anak tak diharapkan atau bahkan hasil dari hubungan gelap, kemudian dibuang oleh orang tua kandungnya dan dipungut Nyai Kowi.
"Sedang apa kau?" Nyai Kowi melewati Bagelen yang duduk bersandar di ambang pintu belakang. Dukun beranak itu menenteng tampah lebar berisi cengkih yang hendak dikeringkan, berhubung harga cengkih kering sedang naik. "Jangan duduk di pintu, nanti susah dapat jodoh."
"Biarkan. Aku tak mau menikah biar seperti Nyai," sahut Bagelen mantap.
"Jangan bilang begitu! Suatu saat kau akan ketemu laki-laki tampan, jangan sampai kau jilat ludah sendiri."
"Serius. Aku tak mau menikah. Biarkan aku meneruskan pekerjaan Nyai jadi dukun beranak."
"Jangan meniru langkahku, Bagelen. Kau gadis rupawan. Jangan sia-siakan keelokanmu untuk menyendiri di pelosok sepertiku. Kaulihat sendiri kehidupanku yang sepi. Kalau tak ada kau, aku yakin saat ini sedang berbicara dengan ayam."
Bagelen meresapi petuah Nyai Kowi. Ia bahagia hidup seperti ini. Ia tenteram menjalani keseharian bersama perempuan ubanan yang sudah dianggap ibu sendiri. Ia mencintai kampung halamannya sebesar ia menyayangi Nyai Kowi. Ia tak mungkin membagi cintanya untuk orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
Historical FictionHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun, jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...