8. Tak Sempurna

60 22 7
                                    

Bagelen kembali ke Wanua Cacaban Wetan sekadar menilik Nyai Kowi untuk terakhir kali. Ia menambatkan kuda deragemnya di bawah pohon nangka yang berbuah matang. Keramaian menyeruak di sekelilingnya ketika ia berlari menerobos pintu masuk.

Bibirnya melengkung ke bawah, mendapati wanita yang telah merawatnya sejak kecil terbujur siap diupacarakan. Karena termasuk orang terpandang yang gemar menolong wanita babaran, maka warga menghormatinya dengan melakukan upacara pembakaran.

"Turut berduka, Bagelen." Hanya kalimat itu yang berseliweran di telinganya selain kumeretak api yang menjilat mayat Nyai Kowi.

Bagelen menyesal, sejak ia menimba ilmu di padepokan Tapak Dara di lereng Gunung Bisma delapan tahun lalu, ia tak pernah mengunjungi kampung halamannya serta Nyai Kowi yang sudah renta. Ia terhanyut dalam kesibukan dan ambisi menjadi pendekar wanita. Hingga beberapa saat yang lalu, gurunya mendapat pesan dari burung dara bahwa ada kabar duka dari keluarga Bagelen.

Perempuan itu terpekur, ia belum mewujudkan impian Nyai Kowi yang sudah dianggap sebagai ibu sendiri. Wanita tua itu sempat berpesan kalau Bagelen jangan sampai menirunya dalam hal asmara. Nyai Kowi tidak menikah, ia tak ingin anak angkatnya itu meneruskan jejaknya. Namun, hingga usia Bagelen mencapai 21 tahun, ia tak punya waktu untuk cinta pribadi. Gurunya mengajarkan cinta yang universal. Cinta kepada Yang Maha Kuasa, serta segala ciptaan-Nya.

Ia menyesal tak sempat minta maaf pada Nyai Kowi karena belum memenuhi wejangannya.

Seusai upacara, orang-orang membubarkan diri, membiarkan Bagelen bersama kudanya dirundung kebimbangan. Rumah reyot dari anyaman bambu itu takkan ada yang menempati lagi. Banyak kenangan masa kecil yang masih tersimpan buram dalam memori Bagelen. Namun, ia harus kembali ke padepokan. Guru dan teman-temannya akan merasa kehilangan jika ia pergi terlalu lama. Bagelen termasuk murid yang unggul. Ia takkan menyia-nyiakan bakat dan kecerdasannya untuk mencapai ilmu tertinggi.

Sang kuda deragem meringkik ketika ia menghela tali kekang. Tak ada waktu untuk menengok, tak ada waktu untuk berduka terlalu lama. Hidup harus tetap berjalan.

***

"Bagelen, cepat sekali kau kembali. Bagaimana ibumu?" tanya Menik, teman sekamarnya.

"Ibu sudah jadi abu," jawab Bagelen tanpa ekspresi.

“Aku turut berduka.”

Tak mendapat respons, Menik keluar menghirup angin senja saat Bagelen menuju pancuran kulah di belakang pondok pasraman. Ia selalu merasa sungkan terhadap anak kesayangan gurunya itu. Dari raut mukanya saja, Bagelen sudah terlihat menakutkan. Menik harus berpikir berulang kali tiap cakap-cakap dengannya. Meski sering canggung, Menik sudah terbiasa dan menguatkan diri satu atap dengan perempuan judes itu.

Saat permadani hitam menyelimuti awang-awang, ia kembali ke dalam pondok untuk menghangatkan diri di depan tungku yang masih memancarkan bara. Setelah mandi sore, kebanyakan perempuan hanya memakai jarik terusan hingga esok tiba.

Bara dalam tungku itu berangsur-angsur padam, kemudian Menik memantik lampu-lampu minyak yang tergantung di beberapa sudut ruangan. Tak ada kegiatan penting yang dilakukannya ketika malam menjelang kecuali tidur. Ia mendapati Bagelen sudah meringkuk pulas di ranjang dengan rambut setengah basah. Agaknya kelelahan membuatnya tak sempat makan malam.

Ia naik ke sebelah tubuh sintal itu, berhati-hati agar keriut ranjang tak membangunkan teman sekamarnya yang mudah naik darah.

***

Sebelum matahari menegaskan waktu fajar, Bagelen sudah terjaga karena kebiasaannya bangun saat pagi masih gulita. Ia mengguncangkan tubuh Menik yang menggeliat malas kemudian berlalu ke dapur untuk memasak.

Bagelen menanak nasi dan menjerang air di bagian tengah dan belakang lubang tungku, sementara Menik memasak lauk di bagian lubang depan.

“Kita sudah menjadi menantu idaman, Bagelen,” banyol Menik mencairkan suasana.

Bagelen bergumam di depan tungku, tengah membaca naskah kuno sembari menunggu nasi matang. Mendengar air yang sudah panas mendidih, ia meletakkan bacaannya di dingklik kemudian membawa air dalam kendil itu ke kulah.

“Aku mandi duluan,” katanya.

“Jangan lupa sisakan air panas untukku!” sahut Menik saat Bagelen menghilang di balik pintu.

“Tak perlu kauingatkan.”

Setelah keduanya membersihkan diri dan sarapan, Bagelen menggoyangkan lonceng sapi sebagai tanda pembelajaran dimulai.

Satu persatu murid berdatangan dengan seragam kebaya putih dan celana selutut berwarna senada, yang menjadi pembeda Tapak Dara dengan padepokan yang masih menerapkan seragam kemban serta jarik. Kebanyakan dari mereka memiliki rambut panjang yang digelung, tetapi beberapa nekat memangkas pendek rambutnya hingga tampak maskulin seperti lelaki. Sementara Bagelen sendiri, ia memanfaatkan peluang sebagai murid tingkat atas untuk menggerai rambut sebahunya yang terlihat bagai kelopak bunga bakung.

"Terima kasih atas ketertiban kalian. Materi kali ini bukan tentang ilmu bela diri, tapi teknik pernapasan untuk meditasi," kata Bagelen pada dua puluh Srikandi berusia belasan yang dipercayakan sang guru untuk diajarinya.

Mereka menghela napas kecewa.

"Aku yakin kalian sudah menguasai ilmu bela diri yang cuma melibatkan raga. Supaya seimbang, batin pun harus kalian kuasai." Bagelen menajamkan tatapannya hingga tak ada yang berani mengeluh lagi. "Aku pun masih belajar. Mari kita saling bekerja sama." Suaranya melunak.

Rambutnya yang diterpa angin tampak seperti ombak bergulung-gulung. Saat bersila dengan jari tangan membentuk sikap jnana mudra³ di atas lutut, ia bagaikan arca seorang dewi yang mewujud di antara embun pagi. Mustahil Menik tidak iri pada perempuan yang beberapa tahun lebih tua darinya itu. Bagelen selalu disegani orang lain, bahkan oleh gurunya sendiri. Kapan Menik akan seperti itu?

Sebagai teman sekamar, Menik tahu sisi-sisi buruk yang dimiliki Bagelen, termasuk sikap ketus dan galaknya itu. Terkadang Bagelen tak menyimak ketika ia bicara. Hal itu membuatnya tak suka dengan segala respek yang disuguhkan pada anak emas itu. Orang yang tak bisa menghormati lawan bicaranya, tak pantas mendapat penghormatan.

Bagelen tak sempurna. Hatinya tak lebih suci dari hati Menik. Namun, ia pandai menjadikan kecerdasan dan kegigihannya sebagai topeng yang membalut kekurangan. Tentu saja sang guru tak mengerti. Sang guru hanya sebatas tahu bahwa Bagelen cerdas dan mampu mewakilinya untuk mendidik para murid.

“Menik, pancuran adalah tempat terbaik untuk melamun. Bukan di lapangan,” sindir Bagelen, membuat sang empu menyudahi penyakit hatinya.

_______
³ Jnana Mudra : Sikap meditasi di mana telunjuk dan ibu jari bersentuhan, menghadap ke atas.

Jaka BanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang