11. Jaka Gentleman

55 11 12
                                    

Kaki Bagelen masih sanggup menopang tubuh meski dadanya kembang-kempis lantaran sesak napas. Di sela kunang-kunang yang menyergap pandangan, ia melihat toh atau tanda lahir di kedua ketiak Danuja yang berkacak pinggang penuh percaya diri. Itu kesalahan besar bagi Danuja yang tak memakai baju seragam mentang-mentang ia jadi pemimpin.

Bagelen menyarungkan kembali kerisnya ke warangka yang masih tersimpan di balik kendit.

Sebelum Danuja menyuarakan wijaya, secepat kilat Bagelen melangkah ke arahnya kemudian menusuk kedua toh itu menggunakan kuku jari tengahnya yang panjang lagi tajam.

"Aaargh!" Teriakan Danuja mengagetkan burung gagak yang berkaok meninggalkan pepohonan. Pemuda tinggi besar bercelana hitam itu menyorong mundur Bagelen menggunakan kakinya. Ia tak punya tenaga lagi untuk melawan. Bagelen sudah melukai titik lemahnya.

"Kami menyerah," kata Danuja sambil menahan rembesan darah dari tohnya.

"Apa jaminan kalian takkan mengacau lagi?" Kali ini gentian Bagelen yang berkacak pinggang jemawa.

"Sumpahku di atas darahku." Danuja menunjukkan luka di bawah ketiaknya yang mengalirkan darah.

"Ucapkan!"

"Aku-Danuja dan teman-teman yang mewakili Dang Acarya Bawunan di lereng Gunung Rogojembangan, bersumpah tak akan mengusik ketenangan semua padepokan di lereng Gunung Bisma." Kemudian Danuja membiarkan darahnya menetes di tanah.

Bagelen berembus lega, kemudian mundur membantu murid-muridnya untuk kembali ke padepokan. Mereka saling meringis kesakitan, tetapi akhirnya tersenyum kemenangan.

"Kau hebat, Bagelen. Titisan raksasa itu sampai berlutut di depanmu," lirih Menik yang tertatih-tatih dipapah Bagelen.

"Keberhasilanku tak lepas dari upaya kalian."

Bagelen tak sadar, meski pergulatan sudah berakhir, masih ada seseorang di antara lawannya yang memiliki dendam pribadi.

***

Terengah-engah, Danuja memaksakan diri untuk pulang ke padepokan mendahului anak muridnya. Ia melangkah tergabas meski luka di ketiaknya temut-temut. Darah yang terus mengalir lambat laun membuat kepalanya pening.

Serangga malam mulai bertutur saat ia tiba di kelengangan padepokan. Dang Acarya yang seharian menanti muridnya pulang membawa keberhasilan, segera bangkit melihat sosok pucat itu.

"Istirahatlah, Danuja. Akan kupanggil murid perempuan untuk merawatmu." Dang Acarya menuruni langkan kemudian memapah Danuja ke pondok pasraman.

"Pendekar lain masih di perbatasan. Mereka juga butuh pertolongan," ucap Danuja sebelum mendesis menahan perih.

Dang Acarya bergegas menyusuri undakan berbatu sebelum sampai di area perempuan. Ia segera menitahkan satu di antaranya untuk merawat Danuja, sementara yang lain bertolak ke perbatasan wilayah Rogojembangan-Bisma untuk mengobati para pendekar yang tak mampu pulang sendiri.

Selagi menanti bala bantuan, Jaka Banyu terpejam, mencoba memulihkan tenaga dengan tak bergerak. Rasa sakitnya sepadan dengan kelegaan telah mengetahui rupa sang ibu yang tak disangka-sangkanya masih teramat muda.

Matanya membuka saat ketukan ladam terdengar susul-menyusul. Beberapa perempuan menunggangi kuda milik padepokan yang jumlahnya tak seberapa. Pendekar yang lukanya gawat segera diangkut ke atas pelana kemudian lekas pulang.

Tak ada yang menaikkan Jaka Banyu ke atas binatang itu. Namun, Kesari mendekat untuk mengalirkan tenaga dalam pada memar di dadanya, kemudian mengompres menggunakan buntelan hangat berisi abu.

"Kau Kesari, bukan?" Jaka Banyu memastikan.

Kesari mengangguk, berupaya menepis kekhawatiran dari raut wajahnya. "Kulihat kakakmu dibawa naik kuda. Lukanya parah sekali."

"Dia memang rapuh."

"Dasar adik durhaka. Dia bakal sakit hati kalau mendengarmu."

Kesari menyeka darah di perut Jaka Banyu sebelum menambal goresan panjang itu menggunakan bubukan daun obat-obatan, kemudian membebatnya dengan kain putih yang menjelma jadi perban.

Jaka Banyu menolak saat Kesari hendak memapahnya. "Yang sakit dada dan perutku, bukan kakiku."

Mereka beriringan pelan di jalur setapak dengan jurang menganga di sisi kiri, memperlihatkan gurat emas mentari yang mengecup pertiwi . Tak kuatir apabila tawang menghitam karena mata mereka sudah biasa dalam keremangan. Keduanya sudah ditinggal pendekar lain yang tak sempat mengobati luka-luka dan memilih langsung pulang.

Sigasir dan beluk jampuk menyertai hawa dingin kiriman gemintang. Jaka Banyu mencuri pandang pada gadis yang lebih pendek darinya itu, tengah menggosok-gosok pundak telanjangnya. Sekonyong-konyong Jaka Banyu yang terkenal bebal itu digandrungi rasa bersalah.

Kesari tersentak tatkala sang empu rambut cepak itu menyelimuti bahunya menggunakan seragam. Ia mendongak, mendapati lesung pipi yang tercipta dari senyum manis Jaka Banyu. Netra belok yang saat mesem terlihat seperti bulan sabit itu mengisi kelamnya langit malam yang menjadi saksi keromantisan sosok pendekar. Kesari tersipu, mengeratkan seragam Jaka Banyu yang bertengger lembut di kulitnya.

Jaka BanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang