7. Danuja

134 35 6
                                    

Jaka Banyu terang-terangan mengamati penampilan Dang Acarya Bawunan yang bersila di seberangnya. Bisa-bisanya kain mori dijadikan jubah. Apa tak takut melorot, ya? Ia cuma membatin, tetapi rupanya Dang Acarya sendiri tahu isi hati dan pikiran Jaka Banyu.

"Ini namanya kasaya." Dang Acarya menunjuk kain putih yang menyelempang di dadanya.

Jaka Banyu mengangguk rikuh ketahuan membatin. Sementara Haryang hanya berani mencuri pandang tokoh terkemuka itu.

Dalem yang ditinggali Dang Acarya murni dari kayu jati berwarna pekat, agaknya dibangun berpuluh tahun silam. Aroma khas berbaur dengan wangi kembang yang teronggok di beberapa ventilasi dengan tujuan menyerap energi negatif.

"Kalian akan dibimbing Danuja untuk mengejar ketertinggalan."

"Yang mengantar kami tadi?" celetuk Haryang.

Dang Acarya mengangguk. "Dia yang bertugas mengajari anak-anak baru."

Selepas mengucapkan terima kasih, mereka minta diri kemudian celangak-celinguk mencari Danuja di sekitar pelataran. Lelaki jangkung itu tengah berbincang dengan temannya. Jaka Banyu dan Haryang menunggu hingga ia selesai dengan urusannya.

***

Penampilan bisa menipu. Itulah kesan yang timbul di benak Jaka Banyu saat berhadapan dengan sosok Danuja. Ia pandai membuat kesan pertama tentangnya tampak mengagumkan, mengenakan topeng sambutan yang ramah pada Jaka Banyu dan Haryang saat mereka pertama kali menjejakkan kaki di padepokan. Setelah keduanya memulai pelajaran, Danuja menunjukkan pelajaran yang sesungguhnya.

Pemuda berambut gelung atas itu memulai dengan gerakan dasar seperti kuda-kuda. Ia tak sungkan mengkritik ketika kedua murid barunya kurang menyalurkan tenaga.

Mereka berlatih di sisi barat daya padepokan yang berbatasan langsung dengan gemercik sungai. Tanahnya tak seluas lapangan utama, di mana tempat beradunya murid-murid tingkat atas yang sudah berseragam hitam.

"Kalian terlalu lemas untuk belajar. Belum makan?" Danuja menyadari kedua muridnya yang lesu, padahal matahari belum sampai di ujung tombak.

"Sudah, kemarin sore," jawab Jaka Banyu.

"Sekarang, sisa bekal kami sudah basi," timpal Haryang.

Danuja menepuk jidatnya yang lebar lagi berkeringat. "Kenapa tak bilang dari awal? Duh, berdosa sekali aku membiarkan anak orang kelaparan."

Pemilik bahu lebar itu melepaskan baju seragamnya yang sudah basah, kemudian menuntun Jaka Banyu dan Haryang ke pondok. Rasa bersalah menggelayutinya sementara kedua tangan cekatan menyajikan nasi ketan di atas daun jati. Jangan sampai kesan pertama di padepokan ini membuat mereka kabur, bisa mampus aku kena marah Dang Acarya, batin Danuja seraya menyodorkan dua gelas bambu berisi air bening. Dua saudara itu bersila di atas amben teras pondok yang sempat mereka tiduri pagi tadi.

"Karena pondok lain sudah dihuni banyak murid, kalian bisa tinggal di sini bersamaku. Asal mau menggotong amben ini untuk tempat tidur kalian."

"Terima kasih, Kakang." Keduanya menyahut serempak di sela kunyahan mereka yang lahap.

Karena rikuh pada siswa-siswa yang sedang beradu tanding di hadapannya, Danuja berseru, "Yang mau istirahat, silakan. Khusus hari ini waktu latihan terserah pada kalian."

Beberapa murid menyingkir dari lapangan, berteduh di teras pondok masing-masing yang dihuni empat sampai lima orang. Mereka melepas tali yang mengikat pinggang kemudian mengipasi tubuh menggunakan baju yang terbuka. Dada mereka mengkilap, keringat membanjiri perut yang tampak kotak-kotak.

Jaka Banyu berandai-andai, kapan ia memiliki otot seperti itu.

"Ingin punya tubuh seperti mereka?" Danuja agaknya mampu membaca pikiran Jaka Banyu. "Banyak rintangan yang mesti kauhadapi."

"Aku jadi takut," celetuk Haryang yang telah menghabiskan makanannya dan mencuci tangan dari air kendi.

"Makanlah yang banyak. Aku lebih takut melihat tulang rusukmu yang menjengul itu." Danuja mengambil daun jati milik Haryang, hendak menambahkan ketan lagi.

"Terima kasih keprihatinannya, Kakang. Tapi perutku sudah penuh." Haryang menunjuk perutnya yang tak lagi kempes.

Jaka Banyu hampir  menyemburkan nasinya akibat tak kuasa menahan tawa. Ia gemar berbahagia di atas penderitaan kakaknya yang sering dikasihani akibat punya perawakan ceking.

Jaka BanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang