9. Tangguh : Beban Bertambah

62 15 10
                                    

Suatu petang, Bagelen kedatangan sang guru yang memiliki pendar kelembutan di wajah meski usia sudah separuh abad, berbanding terbalik dengannya yang masih muda tapi rautnya memancarkan kekerasan.

"Nyi Kusuma...." Bagelen bingung mau mengajak tamunya masuk ataukah menggiring kembali hingga ia sendiri yang bertamu ke dalem.

"Ada hal pribadi yang ingin kusampaikan. Apakah di dalam ada orang?" bisik Nyi Kusuma.

"Hanya Menik. Aku bisa memintanya pergi selagi Nyi Kusuma bicara."

"Jangan! Lebih baik kauikut aku."

Bagelen menutup pintu, kemudian mendudu langkah gurunya yang juga mengenakan setelan putih yang kontras dengan langit malam. Kaki telanjang mereka memijak tangga langkan dalem yang bergaya joglo dengan kayu jati murni. Rumah itu turun-temurun dimiliki oleh guru padepokan, tak harus dari trah yang sama.

Sesampainya di dalam, Bagelen bersila di atas tikar pandan selagi Nyi Kusuma menyeduhkan wedang secang.

"Delapan tahun kau mengabdi di sini, sementara teman seangkatanmu sudah keluar menempuh hidup masing-masing."

Bagelen diam menyimak.

"Kau murid terlama dan terpandai yang kumiliki. Kau mampu melewati ujian-ujian berat di dunia persilatan tanpa mengalami tekanan batin. Aku yakin, kau mampu menjadi penggantiku."

Bagelen tertunduk, bahunya tak dapat tegak lagi seakan ditimbun batu gunung. Itulah risiko menjadi tangguh. Bebannya akan dilipatgandakan oleh harapan lengkara dari orang sekitar.

"Untuk itu, kuminta kau memimpin Srikandi kita melawan pendekar dari Gunung Rogojembangan."

"Kenapa mereka perlu dilawan?" Bagelen menyela.

"Mereka hendak menggalang kekuatan dari semua padepokan di Kembang Jenar untuk memberontak ke ibu kota. Untunglah padepokan kita yang menjadi kandidat pertama. Kita bisa menghalau mereka yang jumlahnya masih sebanding."

"Di mana kami harus melawan?"

"Mereka akan datang kemari."

Semalam suntuk Bagelen tak dapat terlelap. Ia memusingkan beban yang ditaruh gurunya. Selama delapan warsa, ia hanya beberapa kali terjun ke lapangan untuk menghalau perampok. Dan kali ini, ia sendiri yang harus memimpin bawahannya untuk melawan pendekar asli yang juga menguasai ilmu bela diri. Sialnya, mereka laki-laki. Bagelen menciut, tentu saja tenaga perempuan tak sebanding dengan pendekar laki-laki.

Setelah lonceng sapi berdenting, ia mengumumkan pesan Nyi Kusuma dan menghimbau muridnya untuk berlatih tanding dengan sungguh-sungguh.

"Jangan biarkan lawan menggores setitik pun kulit kalian! Gunakan tenaga dalam saat lawanmu curang!" Bagelen memberi semangat berapi-api di bawah terik mentari.

Ia mencermati jurus-jurus yang muridnya kerahkan, menjeda apabila ada yang terpojok. Bagelen takkan membiarkan satu pun muridnya terluka sebelum para pendekar dari Gunung Rogojembangan datang.

***

"Bagelen, kau yakin kita mampu melawan?" tanya Menik saat mereka sudah bergelung di balik selimut jarik masing-masing.

Bagelen meresapi bahana serangga malam sembari berkedip memandang kasau. "Sebetulnya aku tak yakin, Menik. Tapi Nyi Kusuma tahu kemampuan kita. Kita pasti menang."

"Melihat otot laki-laki saja aku sudah gentar."

"Gentar karena terpesona atau karena takut?" Bagelen menaik-turunkan alisnya.

Menik tergelak. Jarang-jarang Bagelen mau bergurau.

"Lagi pula jika kita bergabung dengan mereka, kita akan tetap bertempur melawan prajurit ibu kota. Bukankah lebih mengerikan?" Bagelen kembali serius.

Menik mengangguk, apa pun keputusan guru mereka, itulah yang terbaik. Meski ia sempat berpikir, mengapa Nyi Kusuma tak ikut melawan para pendekar itu?

Jaka BanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang