1377 Çaka
Didikan Ki Wirun dan Sairah berhasil membentuk Haryang jadi seorang yang tak banyak tingkah, tetapi lain bagi Jaka Banyu yang badung. Di usia satu dasawarsa, pertumbuhan raga Jaka Banyu mampu melampaui Haryang meski saat bayi sempat diberi air tajin. Hal itu kerap digunakannya untuk mengolok-olok sang kakak hingga Haryang merasa rendah diri.
Sairah kerap geleng kepala saat terbayang masa lalu Jaka Banyu. Kalau saja suaminya tak mengambil anak itu, ia takkan tahu ada anak sebandel Jaka Banyu. Namun meski susah dibilangi, Ki Wirun terbiasa mengutamakannya ketimbang Haryang. Sebab itulah Sairah muak dan hendak mengutus anak pungut itu untuk berguru, supaya tak bertingkah di rumahnya lagi. Sayangnya Ki Wirun hendak melepas kedua anaknya biar bersama-sama menuntut ilmu. Alhasil mereka beranggar lidah di tengah ladang yang baru dipacul.
“Haryang pasti tertekan kalau hidup bareng Banyu terus. Kaulihat sendiri dia jadi pendiam gara-gara sering diejek,” ujar Sairah.
“Justru karena berat bibir, Haryang butuh Jaka Banyu sebagai tameng jika mendapat perilaku tak mengenakkan di padepokan.”
Sementara saudara tak sedarah itu tengah selonjoran di bawah pohon pisang, bernaung di kala matahari mencapai ujung tombak. Cangkul mereka masih teronggok di atas gundukan tanah yang merintang setengah hektare. Tinggal beberapa hasta lagi selesai mencangkul ladang yang akan ditanami kaspe.
"Le, kemari," lambai Ki Wirun dengan tangannya yang kurus.
Haryang dan Jaka Banyu melangkah lekas melintasi gundukan-gundukan tanah gembur yang terasa dingin meski matahari menyengat.
Tiba di hadapan bapa dan biyungnya yang sedang menyiapkan batang-batang pendek kaspe, mereka kira bakal disuruh menanam batang itu di tanah cangkulan. Namun, raut mendalam keduanya membuat Haryang dan Jaka Banyu meneguk ludah. Mereka bersila di bawah Ki Wirun dan Sairah yang duduk di dingklik.
"Waktu bergulir cepat, tiba saatnya kalian menimba ilmu," ucap Ki Wirun. Rambut putih setengkuknya berkibaran dibelai angin.
"Selama ini kami sudah cukup belajar dengan Bapa dan Biyung," jawab Haryang.
"Ilmu dari kami hanya sebatas bekal. Kalian sanggup, kan, jadi pendekar sungguhan?" Sairah menimpali. Pendekar memang lazim digeluti lelaki zaman itu, termasuk sang suami yang kini tak lagi menunjukkan kebolehannya karena sadar usia.
Ki Wirun mengamati Jaka Banyu yang tertunduk. Sudah tiba waktunya anak itu mengetahui asal-usulnya.
"Sebelum kukirim kalian ke padepokan silat, ada hal yang perlu kalian ketahui tentang masa lalu Jaka Banyu."
Mendapati namanya disebut, Jaka Banyu mendongakkan kepalanya yang semula tertunduk takzim gara-gara malas menyimak, kemudian ia mencondongkan badan penuh minat.
Pandangan Ki Wirun menerawang saat melanjutkan, "Ibu kandungmu adalah Nyai Bagelen dari desa Cacaban Wetan. Dia melarungkanmu ke sungai sebelum aku dan Sairah memutuskan untuk mengasuhmu."
Jaka Banyu terpaku. Netra beloknya yang simetris tertuju pada Ki Wirun, tetapi sesungguhnya pandangan itu kosong. Saat ucapan bapanya benar-benar meresapi benak, Jaka Banyu penasaran dengan sosok ibu kandungnya.
"Apakah sekarang dia masih hidup?" tanya remaja kencur berambut cepak itu.
"Nyai Bagelen kira-kira masih seusiamu saat membuangmu. Kemungkinan besar ia masih hidup sekarang."
"Mengapa Bapa menceritakan itu?" timpal Haryang. Ia menyugar rambut sebahunya yang tertiup angin dari belakang.
"Aku tak mau menyembunyikan apa pun dari kalian. Dan pesanku untukmu, Banyu. Kalau suatu saat kau berjumpa dengan Nyai Bagelen, jauhi dia dan jangan menaruh dendam!"
Jaka Banyu mengangguk dengan tampang lugu meski hatinya berkata lain. Baginya, larangan adalah perintah. Ia ingin tahu seperti apa sosok Nyai Bagelen dan apa alasan perempuan itu membuangnya.
***
Catatan:
Nyai Bagelen adalah nama jalan, sementara Bagelen sendiri merupakan nama kecamatan di Purworejo. Aku terinspirasi bikin cerita ini pun karena tempat PKL-ku beralamat di situ dan bikin aku mikir, "Oh pasti Bagelen tuh nama tokoh legendaris."
Namun, setting latar di cerita ini bukan Purworejo, melainkan daerah Gunung Ragojembangan jauh di utara kabupaten tersebut karena berbagai pertimbangan. Contohnya aku kurang yakin menentukan Purworejo dulunya ikut kerajaan vassal yang mana, Pajang atau Mataram. Dan di sini gak ada gunung tinggi yang memungkinkan dibuat tempat berguru. Mungkin ada Gunung Arjuna—berbeda dengan Gunung Arjuno—atau Gunung Pupur, atau Gunung Sumbing tetapi masih terbilang jauh. Aku pun kebingungan berapa lama perjalanan dari Purworejo ke gunung tersebut, apalagi dengan jalan kaki. Akhirnya aku pilih wilayah vassal Kembang Jenar yang jarang disebut-sebut literatur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
Historische RomaneHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun, jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...