13. Masih Sedeng

16 6 4
                                    

Mencari seseorang tanpa keterangan tak semudah itu. Jaka Banyu hanya mengandalkan naluri dengan dalih ikatan batin dengan ibunya. Siang dan malam terasa begitu cepat, ia singgah dari satu padepokan ke padepokan lain di lereng Bisma, tetapi yang didapatnya hanyalah penyambutan yang tak lebih mengenakkan dari sikap Menik waktu itu.

Jaka Banyu menggelar bajunya di atas guguran klaras atau daun cengkih kering, kemudian merebahkan diri di atasnya. Ia lupa sudah berapa malam tidur di hutan dalam pencariannya, hingga tak tersisa lagi pakaian bersih dalam kantung perbekalan.

Irisnya menerawang pada gugusan gemintang yang tampak gemerlapan serta menurunkan hawa dingin. Kaki Jaka Banyu yang tak teralas jadi gatal-gatal, padahal tadi sore sudah mandi di sungai.

"Ah! Gara-gara sundal itu melarikan diri, aku jadi begini!" serunya disusul perut keroncongan.

"Aku menyerah! Bodo amat gagal menunjukkan eksistensi pada Nyai Bagelen keparat itu. Aku tak mampu puasa lebih lama lagi." Monolognya ditelan kesunyian.

***

"Kau kembali!" seru Haryang saat menerima ketukan pintu pondok pada tengah malam berikutnya.

"Ada makanan?" tanya Jaka Banyu dengan tampang patetis.

Haryang berlalu ke dapur sementara Jaka Banyu memasang palang pintu kemudian merebahkan diri di ranjang.

Melihat sepiring sawut⁵ di tangan Haryang, Jaka Banyu segera beranjak lalu melahapnya sampai tandas. Haryang mengamati kantung mata adiknya yang menghitam itu, kasihan sekaligus kesal akan ketololannya.

"Bagaimana? Ketemu sama yang dicari?" tanya Danuja yang terjaga di ranjang seberang.

Jaka Banyu menggeleng, menahan malu saat Danuja kentara menahan tawa.

"Itulah akibatnya pergi tanpa minta restu dari gurumu. Padahal kalau menemui Dang Acarya terlebih dahulu, kau takkan menyesal seperti ini."

"Pasti aku tak mendapat izin, makanya aku tak pamit."

"Pergi pun kau tak mendapat apa-apa, kan? Setidaknya, Dang Acarya akan mengintip masa depanmu—berhasil atau gagal dalam pencarianmu itu hingga kau tak melakukan hal yang sia-sia seperti ini."

"Maksud Kakang, Dang Acarya bisa meramal?"

"Buktikan sendiri kalau kau masih punya muka."

Merasa tenaganya pulih berkat sawut sepiring penuh, Jaka Banyu membuka palang pintu lagi kemudian melesat ke kediaman sang guru.

"Maksudku bukan sekarang!" seru Danuja di ambang pintu, tak digubris.

"Dia tak punya malu." Haryang mengingatkan.

"Aku yang malu punya bawahan seperti itu." Danuja memijat pelipisnya.

Saat Danuja hampir amblas dalam buaian mimpi, Jaka Banyu kembali membuatnya terjaga. Lagi-lagi bocah itu bermuram durja lantaran Dang Acarya tak membukakannya pintu, bahkan tak menjawab salam.

"Tak kusangka Dang Acarya menolak tamu," ucap Jaka Banyu pada Haryang yang mengembuskan napas lelah.

"Dasar otak udang! Siapa juga yang suruh kau bertamu tengah malam?!" Danuja kehilangan kesabaran, ia memunggungi dua saudara itu.

Haryang menenangkan adiknya yang masih bersusah hati. Ia tahu kondisi mental Jaka Banyu sedang tidak baik-baik saja setelah bertahan hidup sendirian dan pulang dengan tangan hampa, tanpa bertemu sedetik pun dengan orang yang dicari.

"Tunggu aku lima warsa mendatang, Nyai. Akan kubuat kau ternganga dengan kehebatanku. Haha Hahaha!"

"Sedeng."

Haryang tak enak hati pada kekesalan Danuja gara-gara adiknya yang besar mulut. Ia membungkam tawa Jaka Banyu dan umpatan Danuja menggunakan ilmu sirep yang dibekalinya dari Ki Wirun dahulu. Keduanya mendengkur halus, agaknya besok—atau nanti karena ini sudah hampir dini hari—pagi mereka akan bangun kesiangan.

_______
⁵ Sawut : Penganan dari singkong yang diparut kasar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jaka BanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang