Setibanya di halaman padepokan, para siswa maupun guru belum ada yang terjaga. Pondok-pondok kayu yang disangga umpak—batu landasan tiang— tampak nyenyat seperti nihil kehidupan. Hanya terdengar kumeretak oncor yang digantung di depan pondok-pondok itu. Bau asap sekaligus tetumbuhan memenuhi penghidu Jaka Banyu yang tajam.
Ia menurunkan Haryang yang benar-benar pulas di tengah pelataran, kemudian berbalik untuk mengambil dua bungkusan berisi pakaian yang ia tinggal di jalan untuk memberikan punggungnya pada Haryang.
Sekembalinya mengambil bundelan, Jaka Banyu ternganga mendapati banyak murid perempuan mengerubungi Haryang. Mereka membangunkan anak muda berambut lebat itu dengan wewangian tajam hingga ia melek sempurna.
Haryang menerima gelas bambu yang disodorkan salah satu gadis, kemudian menenggaknya hingga wajahnya ikut tersiram.
"Aku tidak pingsan. Aku cuma tertidur," ucap Haryang.
"Bagaimana kau bisa ambruk di sini?" tanya si gadis yang rambutnya dikepang bak kelabang,
Haryang tengak-tengok kemudian menunjuk Jaka Banyu yang mematung, tersadar sesuatu.
"Maaf, agaknya kami salah jalan." Jaka Banyu mendekat sambil menenteng bekalnya, lalu menarik Haryang untuk beranjak.
"Kalian hendak mendaftar di padepokan?"
Dua saudara itu mengangguk.
"Kalian bisa lewat sini." Gadis itu menggandeng lengan Jaka Banyu dan Haryang untuk membuntutinya. Ia tak tahu kalau dua remaja kencur itu merona akibat sentuhan tangannya.
Mereka berbelok ke kanan, menyusuri undakan batu yang melandai sebelum tiba di gapura berbentuk candi bentar yang remang-remang menampakkan suasana dini hari padepokan. Pondok-pondok menjulang tak jauh berbeda dengan bangunan tadi, hanya saja pelataran di sini lebih luas dan di sisi barat, terdapat pondok kayu jati yang lebih besar.
"Ini lingkungan laki-laki. Tunggulah sampai mereka mulai berkegiatan. Saat itu kalian bisa langsung menemui Dang Acarya Bawunan untuk mendaftarkan diri." Gadis itu menunjuk bangunan paling barat itu menggunakan jempolnya. "Aku Kesari. Dan kalian?"
Jaka Banyu percaya diri mengulurkan tangannya. "Jaka Banyu."
Lain halnya dengan Haryang yang menggaruk kepala kikuk. Gerakan itu membuat Kesari bertanya-tanya apakah rambut lebat Haryang menjadi sarang kutu.
"Dia Haryang, kakakku." Jaka Banyu mengambil alih sebelum Kesari berprasangka.
Gadis itu mengangguk kemudian undur diri.
Jaka Banyu dan Haryang saling pandang, bingung karena belum ada orang yang keluar pondok. Haryang mengajak adiknya untuk mengistirahatkan diri di salah satu tempat duduk mirip amben di depan pondok. Kepalanya masih berdenyut-denyut akibat dibangunkan paksa oleh kerumunan gadis tadi.
Tak terasa berapa lama rebah, Jaka Banyu terjaga saat telinganya menangkap gumaman. Ia mengucek mata beloknya yang buram, dahinya mengerut ketika mendapati beberapa pemuda berpakaian hitam mengerubunginya dan Haryang yang masih meringkuk ganteng. Oncor di setiap pondok sudah padam, wajah-wajah di depannya jelas terpampang di bawah langit fajar.
"Akhirnya kau bangun," ucap salah seorang pemuda jangkung dengan rambut digelung atas.
"Kami tidak pingsan," sahut Jaka Banyu. Ia terbayang-bayang saat Haryang dikerumuni para gadis karena dikira pingsan.
Hari pertama yang buruk.
"Aku tahu. Tapi tak sepantasnya kalian tidur di luar." Pemuda itu menggerakkan tangan saat bicara, sorot matanya memancarkan kewibawaan yang didukung perawakan tinggi besar.
"Maaf. Seharusnya kami datang siang hari." Jaka Banyu menciut.
"Bukan begitu maksudku. Dang Acarya bakal marah jika tamunya dibiarkan tidur di luar. Seharusnya kalian mengetuk pintu dan tidur di dalam."
Jaka Banyu nyengir segan, menyimpulkan dalam hati bahwa pemuda yang menjulang di hadapannya ialah tangan kanan Dang Acarya Bawunan. Ia menepuk pelan lengan Haryang sampai mata sipitnya membelalak karena kedua kalinya dirubungi massa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
Ficción históricaHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...