1. Lahir

290 56 32
                                    

Bagelen meletakkan kendi berisi air hangat di atas meja pendek samping ranjang. Kemudian ia menunggu wanita yang terbaring di ranjang berhenti mengejan saat bayinya lahir dan menangis di tangan Nyai Kowi-dukun beranak yang memperkerjakannya. Gadis remaja berusia sebelas tahun itu menyodorkan kain sebelum Nyai Kowi membersihkan darah di tubuh bayi laki-laki itu.

Bagelen melangkah sigap ke dapur, mengisi gelas tembikar dengan air matang yang mengalir dari kendil. Matanya sudah terbiasa dengan kondisi temaram satu lampu minyak yang membias dari ruang bersalin. Sekembalinya ke ruangan itu, ia membangunkan ibu tadi untuk minum. Namun, guncangan dan tepukan tak membuat si ibu membuka mata. Bagelen meletakkan dua jarinya di bawah lubang hidung wanita itu, kemudian terkesiap tak mendapati napasnya.

"Nyai, dia tidak bernapas." Netra Bagelen lurus menatap manik Nyai Kowi yang sudah kabur tergerus usia.

"Mana mungkin! Orang sehabis babaran memang napasnya lemah." Nyai Kowi memberikan bayi yang sudah dibedung untuk digendong Bagelen, kemudian ia memastikan wanita yang terbaring itu masih hidup.

Nyai Kowi memucat, menepuk pipi wanita itu pelan sambil mengguncang tubuhnya.

"Panggil warga untuk mengurus suwargi ini!" pinta Nyai Kowi sebelum beranjak dari ruangan untuk membersihkan bercak-bercak darah yang mengotori lengan dan kebaya hijaunya.

"Terus, bayi ini mau di kemanakan?" Bagelen masih ragu melangkah.

"Taruh di sisi ibunya. Aku akan membuat air tajin dahulu," pungkas Nyai Kowi dari sumur belakang rumah, sedikit berteriak.

Selepas menaruh si bayi, Bagelen baru menyentuh palang pengunci pintu saat terdengar keramaian di luar rumah. Ia mengintip dari celah bambu yang menjelma jadi tembok. Pupilnya membesar saat mendapati banyak warga memegang obor seperti hendak unjuk rasa.

Ia mengambil si bayi lagi kemudian balik badan menuju dapur dengan jantung berdentam. Bayi berambut legam di gendongannya merengek kehausan. Tak mau warga mendengar tangisan, Bagelen refleks melorotkan kembannya kemudian membiarkan putingnya diisap bayi itu meski tak ada ASI-nya.

Bagelen menutup mulutnya yang hendak tertawa kegelian. Ia berlari ke belakang rumah, membuat Nyai Kowi hampir terjengkang karena kaget.

"He! Perawan tak boleh menyusui!"

Gadis itu meletakkan telunjuk di depan mulut Nyai Kowi yang kemudian menggigitnya. Bagelen mengaduh pelan kemudian memberitahukan kedatangan warga yang seperti mau membakar kediaman mereka.

"Apa pun yang kaudengar, jika itu membahayakan kita, segera kabur dan hanyutkan bayi itu!" pesan Nyai Kowi yang kemudian melesat ke pintu depan untuk menyambut gedoran massa.

"Bagaimana jika dia mati?"

"Letakkan bayi itu di atas wajan. Dia bakal diselamatkan orang hilir sungai."

Bagelen bersembunyi di balik tungku sambil menyendokkan air tajin pada mulut kecil yang kehausan. Ia belum sempat menaikkan kemban saat menangkap dengar pembicaraan warga.

"Kami mencari Ni Amba. Dengar-dengar dia melahirkan di sini," ujar salah satu pria.

"Aku tak mengenal Ni Amba. Cari saja di rumahnya!" balas Nyai Bagelen ketus.

"Kami sudah ke sana dan hanya menemukan suaminya."

"Ada urusan apa sampai kalian ramai-ramai begini?"

"Alah banyak tanya! Cepat suruh Ni Amba keluar!" serobot wanita paruh baya yang kekesalannya di ujung tanduk.

"Jadi begini, suami Ni Amba penganut Tantra aliran kiri. Akibat ilmunya itu, warga yang pernah menyinggungnya banyak yang meninggal. Hal itu tidak bisa kami biarkan. Suaminya sudah kami bakar hidup-hidup beserta rumahnya. Jika Nyai Kowi tak mau kami bakar juga, maka jangan halang-halangi kami untuk menangkap Ni Amba," jelas pria kurus berjenggot putih dengan nada mengancam.

Bagelen beranjak, hampir jatuh karena menginjak jariknya yang awut-awutan. Disusurinya jalan setapak dari belakang rumah, membiarkan mangkuk berisi air tajin tumpah dan lagi-lagi membungkam tangisan si bayi dengan putingnya yang baru tumbuh.

Jaka BanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang