Suara entakan mengisi area lapang di antara rumpun bambu. Peluh membanjiri mereka lantaran tak ada awan yang menyaring sinar mentari di pucuk waktu. Bahkan tanah pun retak kepanasan, seperti bibir mereka yang kehausan. Bau keringat meruak, baju seragam bertolak warna dari dua kubu tampak basah.
Di sela kerahan jurus, netra elang Bagelen mengerling pada bawahannya yang terkapar satu-persatu. Pukulannya semakin gesit bertubi-tubi sebagai pelampiasan gelegak amarah yang membuat mukanya merah padam. Diakuinya, lelaki bongsor yang menjadi lawannya itu cukup berbahaya.
Meski Bagelen mengerahkan berbagai jurus andalan, lawannya selalu berkelit seolah-olah mengejek kemampuan Bagelen yang sama sekali tak menggoyahkan pijakan.
Danuja tersenyum miring lantaran tahu semua anak buah Bagelen tergelimpang dengan luka dalam. Tinggal wanita beralis tebal itu yang masih sanggup bertahan dengan raut bengis yang tak sewajarnya mewarnai roman wanita. Rambut kepangnya kerap menyabet wajah Danuja, membuat lelaki itu geram dan menjambak kepangan itu.
Bagelen mendesis, menjegal kaki Danuja sekuat tenaga hingga lelaki itu terbanting dan menarik rambut Bagelen. Mereka tersungkur bersama kemudian lekas bangkit.
"Hanya pecundang yang bermain curang!" seru Bagelen saat tiga anak buah Danuja ikut-ikutan menyerangnya. Salah satunya ialah Jaka Banyu dengan dada kanan membiru.
Seorang Danuja saja membuatnya kewalahan, apalagi ditambah tiga pendekar yang mengeroyokinya. Ia tak bermurah hati membiarkan lawannya curang.
Ia membuka kancing kebaya, kemudian merogoh keris pemberian Nyi Kusuma dari balik kendit yang mengikat bagian atas celananya. Gerakan itu dilakukan secepat kilat dan tak sempat mengancingi kembali kebayanya.
Iris Danuja tertuju pada keris yang digenggam erat perempuan itu, dan beralih pada pemandangan gunung kembar berbalut kain penyangga di balik kebaya putih yang kuyup oleh peluh.
"Kau yang mengawali kecurangan." Selepas mengatakan itu, Bagelen menerjang dengan keris siap menikam jantung lawan.
Danuja tak membiarkan tubuhnya tertusuk dengan konyol. Ia melompat, jungkir balik di udara kemudian menyodokkan kakinya ke kepala Bagelen hingga perempuan itu terhuyung.
Merasa Danuja terlalu sulit diterjang, Bagelen menyabet kerisnya pada tiga pemuda bau kencur yang ikut campur pergulatannya dengan pemimpin mereka.
Hanya sekali sabet, mereka membungkuk kesakitan. Bagelen berbinar-binar pada keris sakti yang digenggamnya.
"Menyerahlah, Nyai. Aku membiarkanmu curang karena aku tak tega menghabisi perempuan," cetus Danuja berkacak pinggang.
"Ck. Pelaku keroyokan seharusnya malu membahas kecurangan," cibir Bagelen.
"Baiklah kalau itu maumu." Danuja melakukan gerakan pemusatan tenaga dalam.
Sementara Bagelen tak mau kalah menghimpun tenaga dalam dengan urutan gerakan yang berbeda. Tangan kanannya yang memegang keris membuat gerakan melingkar di sekeliling kepalanya hingga berhenti di depan dada, sementara tangan kirinya terjulur ke depan. Kakinya mendek seperti orang menari. Tatapannya menusuk mata Danuja yang terpejam di tengah-tengah gerakan yang maskulin.
Mereka bersamaan melontarkan angin pukulan dari jarak jauh hingga menimbulkan suara berdentam bak letupan gunung. Meski dibantu sang keris, Bagelen terjengkang tak mampu mengalahkan tenaga Danuja yang seperti raksasa—sesuai arti namanya.
"Bagelen!" Menik menjerit parau sambil tengkurap menjulurkan satu tangan. Mulutnya mengeluarkan darah, tangisannya makin menyayat hati.
Netra belok Jaka Banyu melebar saat nama itu merasuk pendengarannya. Ia memiringkan tubuh ke kanan sambil menahan perihnya goresan keris Bagelen di perut yang berdarah. Diamatinya langsung sosok perempuan dewasa yang memaksakan diri untuk bangkit itu.
Rambut kepang bak kelabang jatuh di sisi kiri tubuhnya, bulu mata jengkit membingkai sorot tajam di bawah lengkungan alis yang tebal. Giwang hitam melekat di telinga, setitik landang menghiasi atas kiri bibir tipisnya yang berkedut menahan nyeri di sekujur tubuh.
Jaka Banyu memindai setiap jengkal paras dan perawakan sintal ibunya yang sampai hati melarungkannya di sungai. Ia tak heran wanita dengan rambut halus di tangan dan kaki itu menjadi jalang yang mengenyahkan darah dagingnya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
Historical FictionHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...