Malam itu Ki Wirun menenteng bungkusan daun jati yang berisi nasi serta lauk dari kenduri yang baru dihadirinya. Anak tetangganya baru potong rambut kuncung, maka dari itu keluarga mereka mengadakan selamatan.
Jarak antara rumah cukup jauh, tapi pria berusia setengah abad itu terbiasa melintasi jalan setapak di antara semak dan sungai entah itu pagi maupun malam. Tak pernah ada hal yang membayang-bayanginya, kecuali malam itu. Ia mendempetkan diri pada pohon kokosan saat melihat siluet perempuan muda yang berlari membopong sesuatu dan memanggul wajan terbalik di kepalanya.
Ki Wirun menginjak oncornya supaya tak ketahuan mengintai. Tak sulit mengenali perempuan yang rambutnya berkibar-kibar di bawah cahaya bulan cembung itu. Matanya menyipit, memastikan bahwa yang dilihatnya memang Bagelen si anak buah Nyai Kowi. Ia mengeratkan rompi cokelatnya seraya mengawasi gelagat mencurigakan Bagelen di seberang sungai. Gadis itu meletakkan sesuatu yang dibalut selendang ke dalam wajan sebelum mengombang-ambingkannya.
Saat tangisan bayi menggema, Bagelen mendorong wajan itu mengikuti arus sungai. Ia sendiri kemudian tunggang-langgang tanpa membawa obor hingga beberapa kali membentur pohon.
Pria bangsai itu membuntuti hanyutnya wajan ke hilir, kumisnya yang baplang bergerak-gerak seiring gumaman penasaran terhadap bayi dalam wajan. Ia tak peduli pada oncor yang telah padam diinjak, tak hirau pada kaki telanjangnya yang tertancap duri maupun kerikil tajam. Netranya terfokus pada wajan yang terumbang-ambing serta tangisan pilu yang menyayat hati. Sejenak pria itu bimbang, bagaimana reaksi sang istri jika ia pulang membawa bayi padahal ekonomi sedang seret?
Semakin lama berpikir, wajan itu makin jauh dari langkahnya. Ia punya anak kecil, ia paham tak seharusnya makhluk suci seperti itu berkalang tanah sia-sia. Batinnya kian terawai seiring tangisan si bayi yang meredup.
Arusnya tak begitu laju, tetapi sungai itu cukup lebar sehingga lengan berbulu Ki Wirun tak dapat menggapai wajan berisi sosok malang itu. Ia mencemplungkan diri ke sungai, menggigil atas dinginnya air setinggi betis yang menusuk kulit hingga terasa sampai tulang.
Didekapnya bayi yang masih menangis hingga wajahnya hampir biru itu, sementara tangan yang satunya menenteng wajan dan bingkisan kenduri. Sepanjang jalan, pikiran Ki Wirun menduga-duga bahwa bayi itu adalah anak Bagelen yang tak diharapkan. Ia tak begitu mengenal gadis seberang desa itu, tetapi ia tahu bagaimana kecantikan Bagelen. Bukan mustahil perawan elok sepertinya kebelet membuat anak meski akhirnya dibuang.
"Anak siapa itu?" Sairah—istri Ki Wirun berseru enggan saat suaminya mengulurkan si bayi.
"Bagelen membuangnya di sungai." Ki Wirun memaksa Sairah untuk menenangkan bayi itu. Ia sendiri memasuki kamar untuk ganti celana yang basah separuh.
"Bagelen, anak kecil dari desa seberang?"
"Aku juga tak menyangka anak kurang pergaulan itu bisa menjangak." Ki Wirun mengerti keheranan istrinya.
"Sayang sekali. Padahal dia masih belia. Kenapa, ya, orang yang bersetubuh di luar ikatan lebih cepat dikasih anak. Sementara kita, harus menunggu bertahun-tahun," oceh Sairah sambil menyusui bayi itu.
"Karena Sang Hyang Tunggal sudah tidak peduli pada pelaku mukah itu, Dia membiarkan mereka larut dalam kesenangan. Sebaliknya, Dia menyayangi kita, maka kita diberi ujian terlebih dahulu."
Bayi itu tertidur sambil menikmati susu yang didambakannya sedari baru lahir, bukan air tajin yang disendokkan ke mulutnya beberapa saat silam. Entah kebetulan atau takdir, ia diasuh oleh Sairah yang dua tahun lalu juga babaran sehingga air susunya masih tersedia.
Sairah menghampiri ranjang, mengenalkan bayi merah itu pada anak lelakinya yang tengah dibuai mimpi.
"Haryang, ini adikmu. Bapa dan biyungmu akan memanggilnya Jaka Banyu. Karena air yang mengantarnya kepada kita."
![](https://img.wattpad.com/cover/372042989-288-k752817.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
Historical FictionHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun, jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...