Jaka Banyu dan Haryang melempit beberapa pakaian mereka di atas kain merah persegi. Haryang diam-diam mengamati pandangan adiknya yang kosong. Pemilik rambut sebahu itu berdecak masygul atas kisah bapanya tempo lalu yang menimbulkan percikan dendam dalam dada adiknya.
"Banyu, jangan memikirkan hal yang tak perlu!"
Jaka Banyu menengok, tatapannya berangsur-angsur penuh. Ia menyunggingkan senyum manis andalan hingga kedua lesung tampak di pipinya. Tampang lugu itu berhasil mengibuli Haryang yang tak lagi melanjutkan pemikirannya tentang bara dendam tadi.
Selesai berkemas, mereka mengikat kain berisi pakaian dan bekal perjalanan masing-masing pada potongan bambu runcing. Keduanya memanggul bekal itu sambil menyalami kedua orang tua mereka untuk berpamitan.
Berat bagi Ki Wirun melepaskan kedua putranya yang masih remaja kencur itu. Namun, ia ingin Haryang dan Jaka Banyu menjadi pendekar tak terkalahkan. Tahun 1377 Saka masih penuh gejolak karena kekosongan pemerintahan selepas mangkatnya Bhra Hyang Purwawisesa, membuat kebiadaban merajalela tanpa ada yang menindaklanjuti. Ki Wirun tak terlalu mengikuti berita konflik di ibu kota Majapahit yang ada di bagian timur Jawa. Tak perlu jauh ke sana, di kampung halamannya sendiri, bagian tengah Jawadwipa yang tak begitu disorot, masih banyak yang perlu diperbaiki entah itu sarana umum ataupun moral penduduknya.
Gejolak Kembang Jenar tak jauh beda dengan ibu kota. Bahkan istrinya sempat mendengar kabar dari pasar, bahwa wilayah yang berbatasan dengan pantai utara Jawa itu hendak memerdekakan diri dari Majapahit.
Itulah yang membuat Ki Wirun khawatir apabila kedua putranya ditarik untuk menjadi prajurit dalam pemberontakan tanpa bekal ilmu bela diri. Pria yang mulai bungkuk itu tak berkedip melihat kedua putra terkasihnya menyusuri setapak hingga menghilang tertutup rumpun bambu.
***
"Kakang, mari bertaruh. Dalam setahun ke depan, siapa yang lengannya paling besar. Yang kalah harus mau disuruh-suruh yang menang dalam waktu sepekan." Jaka Banyu memamerkan otot bisepsnya yang mulai terbentuk.
"Aku tahu kau ingin menjebakku, Banyu. Sekarang saja sudah terlihat siapa yang lebih kekar di antara kita." Haryang menyibak rompi merahnya hingga terlihat tulang iganya yang menonjol.
Jaka Banyu ikut menyibak rompi birunya, membandingkan tubuhnya yang lebih besar dari sang kakak. Kemudian mereka tergelak bersama.
"Dunia ini berputar, Kakang."
"Maka dari itu aku tak pernah iri padamu. Aku yakin suatu saat keadaan kita terbalik."
"Jangan bilang begitu! Aku tak mau kurus, kecil, gondrong macam Kakang," gurau Jaka Banyu.
"Kecil-kecil begini, isi kepalaku lebih banyak dibanding kau. Makanya rambutku tumbuh subur, wong otakku tak pernah kosong." balas Haryang telak. Ia selalu membanggakan kecerdasannya saat Jaka Banyu mengunggulkan kekuatannya.
Meski banyolan mereka tentang fisik, tak ada yang memasukkannya dalam hati hingga timbul perang saudara. Jaka Banyu merasa ikatannya dengan Haryang layaknya saudara kandung. Namun, kenyataannya mereka tak memiliki darah yang sama. Lagi-lagi ia teringat pada Nyai Bagelen, tersenyum miring, mengolok-olok sosok itu dalam hati. Aku yakin kau akan menyesal jika melihatku tumbuh gagah perkasa.
Jaka Banyu dan Haryang larut dalam pikiran masing-masing. Kaki telanjang mereka menyusuri setapak yang terus mengarah ke selatan, menuju lereng Gunung Rogojembangan yang konon dijaga oleh pertapa sakti dari Mataram Kuno bernama Ki Agung, di mana beliau yang menemukan kubangan air atau jembangan yang menjadi cikal bakal nama gunung tersebut.
Perlu waktu sehari semalam perjalanan dari Kuwu¹ Petungkriyono menuju Gunung Rogojembangan yang berbatasan langsung dengan wilayah Paguhan. Mereka tak punya kuda untuk menghemat waktu dan tenaga. Mereka hanya berhenti di bawah lembayung senja untuk menyantap bekal dan minum di pinggir kali sambil menikmati semilir angin dari puncak yang tampak menjulang agung. Jaka Banyu terus memaksa dengan kedok menyemangati Haryang agar terus berjalan meski kelopak mata kakaknya itu hampir terkatup.
Mereka meneruskan perjalanan saat cakrawala berubah warna bagai permadani hitam. Walaupun rembulan tak menggantung di atas mereka, masih ada taburan bintang yang menyumbang cahaya serta hawa dingin bagi perjalanan keduanya di antara semak pakis dan dedaunan kering. Jaka Banyu memegang lengan Haryang yang terkantuk-kantuk di belakang, sesekali terperanjat akibat kelelawar yang terbang rendah hampir menyabet rambut lebatnya. Detak jantung Jaka Banyu meningkat selepas mendongak dan melihat dua cahaya bulat kemerah-merahan di atas ranting pohon jati. Netranya memperhatikan meski bulu romanya berdiri, lalu menghela napas lega tak keruan.
"Mata beluk jampuk²."
Tak terhitung kerik jangkrik yang sedang manggung. Tak terhitung pula kaki Jaka Banyu menginjak cacing maupun serangga lain.
Sekonyong-konyong Haryang menubruk punggung Jaka Banyu sambil terpejam. Matanya sudah tak kuat melek sampai kepalanya terasa berputar-putar padahal tinggal beberapa depa lagi mereka tiba di padepokan.
"Aish! Nanggung amat. Itu padepokannya sudah terlihat." Jaka Banyu menunjuk kerlip obor dari padepokan yang masih senyap. Agaknya waktu itu masih dini hari.
Haryang mendengar ucapan adiknya, tetapi tak mampu membuka mata dan menopang tubuhnya sendiri. Sementara itu, Jaka Banyu melihat kakaknya yang berusaha melek tetapi yang terlihat hanya sedikit bola mata putihnya saja. Alhasil, Jaka Banyu mengesampingkan bekal di tanah kemudian menggendong Haryang di punggungnya.
_______
¹ Kuwu: Setingkat Kademangan.
² Beluk jampuk: Jenis burung hantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
أدب تاريخيHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun, jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...