21. One Chance, Please

104 17 4
                                    

Sudah lebih dari dua minggu Karina mengurung diri di kamar. Ia tak ke mana-mana kecuali pada tengah malam. Karina akan keluar dari kamarnya mengendap-endap untuk mencari makanan. Ia berusaha sebisa mungkin menghindari berpapasan dengan ayah dan dua kakak laki-lakinya. Mereka bertiga adalah malapetaka bagi Karina. Meski demikian, ia tak punya tempat untuk pulang. Satu-satunya tempat teraman adalah pelukan ibunya. Itu pun sulit ia dapatkan.

Seperti malam ini, ia mengendap-endap lagi. Dengan hati-hati memutar knop pintu kamarnya. Badannya tertunduk, matanya mengedar untuk memastikan tak ada yang melihatnya. Ia berjengket keluar, mencoba meminimalisir suara. Berharap ada secuil makanan sisa untuk ia santap sebagai penghibur perutnya yang keroncongan. 

Rumahnya sudah gelap. Semua lampu sudah dimatikan. Ia yakin semua keluarganya sudah tidur. Dengan penuh percaya diri ia menegakkan badan. Berjalan cepat sebelum ketahuan. Sampai di dapur, ia buka satu persatu lemari hingga tudung saji. Malangnya, malam ini keberuntungan tidak berpihak padanya. Kosong, tanpa bekas sedikitpun.

Karina mendengus kesal. Berpikir bagaimana keluarganya bisa setega itu padanya. Saking kesalnya, Karina hampir memukul kursi sebelum sadar bahwa ia tak boleh ketahuan. Ia kembalikan tudung saji ke tempat semula, lalu berjalan kembali ke arah kamarnya.

Ruangan yang gelap membuat kemampuan penglihatannya menurun. Langkahnya memelan saat tiba-tiba mendengar suara derit pintu atau kursi ia pun tak yakin. Ia mempercepat langkah dan mencari-cari arah suara. Kepalanya menoleh kebelakang dan tak menemukan apapun. Jika itu keluarganya, ia pasti sudah diteriaki. Karena yakin itu bukan ulah manusia, Karina dengan jantungnya yang berdebar-debar mempercepat langkahnya dan ketika hampir tiba di depan pintu kamar, ia menubrukan diri di tubuh seseorang yang membuatnya berteriak ketakutan.

Teriakan itu terbungkam. Ia membelalakkan matanya dengan mulutnya yang ditutup oleh telapak tangan seseorang. Bukan hantu, sang ibu yang kini masih membungkam mulutnya, mengisyaratkan pada sang anak untuk tidak berisik, dan langsung masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar Karina mengusap dadanya lega. Untung saja yang ia temui bukan hantu melainkan ibunya sendiri yang kini membawa sebuah goody bag berisikan tiga kotak makan yang masing-masing penuh dengan makanan.

Sang ibu tahu anak perempuan satu-satunya itu pasti kelaparan. Ia menyadari kelakuan Karina setiap malam. Namun ia pun harus mencari waktu yang tepat untuk melakukan hal ini.

Mereka berdua duduk di samping ranjang Karina. Sang ibu menatap anaknya dengan senyum tulus penuh perhatian. Sementara Karina memakan apapun yang ada di depannya seperti kesetanan. Ia berterima kasih banyak kepada ibunya. Dengan mulut penuh itu ia peluk erat-erat tubuh perempuan di depannya.

"Kenapa kamu nggak pernah keluar?" sang ibu bertanya seraya mengusap lembut kepala Karina.

Di tengah kesibukannya, Karina menjawab jika ia sudah tidak lagi berkuliah alias sudah di drop out dari kampusnya. Ia tak berani menatap wajah ibunya saat mengatakan hal itu. Karena ia tahu bahwa ibunya akan kecewa. Dan benar saja, sang ibu mulai menitihkan air mata ketika Karina perlahan menatap wajah ibunya. Karina meminta maaf karena telah mengecewakan sang ibu. Namun, kalimat ibunya justru mengejutkannya.

"Gapapa, kamu lakuin apapun yang kamu mau.. Apapun itu mama bakal tetep dukung Karina"

Mendengar itu, Karina yang masih belum selesai mengunyah makanannya ikut menangis. Ia merasa bersalah sekaligus bersyukur atas ibunya. Dan tangis itu pecah saat ibunya mengatakan Karina bisa pergi dari rumah mereka tanpa khawatir karena sang ibu akan membiayai hidupnya diam-diam. Ibunya pun tahu jika rumah itu adalah petaka bagi Karina.

"Kalo kamu mau ke psikiater, bilang sama mama.. mama bakal bantuin semua masalah kamu.."

"Ma.. di antara kita semua yang harusnya ke psikiater itu papa!"

WRONG Graduation (WinRina/JiMinjeong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang