Bab : 9

15 13 2
                                    

Setelah menyajikan makanan untuk sang nenek, Gelin tidak lupa memberikan obat yang di perlukan.setelah sang nenek selsai makan, Gelin duduk di lantai dekat kasur tempat sang nenek tidur. Dengan lembut Gelin menempatkan kepalanya di samping kasur sang nenek dan duduk di sana. Memberikan kehadiran dan dukungan saat sang nenek bersiap untuk tidur.

Dengan penuh kasih, Gelin menyentuh lembut tangan sang nenek dan memegangnya erat. Dalam keheningan yang damai, Gelin bertahan di sana, menemani sang nenek sampai ia merasa tenang dan tertidur pulas.

Sementara itu, Yunara memijat kepalanya pelan karena merasa sedikit pusing. Hari pertama bekerja di kantor baru merupakan tantangan besar besar baginyabaginya, karena dia telah di berikan tugas-tugas yang berat dan harus di selesaikan dengan cepat. Meskipun ia baru di sana, Yunara berusaha keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dengan teliti, terutama dalam membaca berbagai proyek sebelum kemudian di hadapkan kepada Arvin.

Di sisi lain, di meja kerjanya, Arvin memperhatikan Yunara tanpa di sadarinya. Arvin tersenyum puas melihat dedikasi dan semangat Yunara dalam pekerjaannya. Yang membuatnya terkenang akan masa-masa di mana dia sendiri harus bekerja keras sebagai seorang pelajar untuk mencapai impiannya menjadi produser di Amerika.

Yunara memperhatikan detik waktu di jam yang bersemayam di pergelangan tangannya. Jam dengan tali kecokelatan itu terlihat pas dan elegan di pergelangannya.

"Satu, dua, tiga, Yes! "Serunya dengan sedikit teriakan kecil penuh kegembiraan saat melihat jam menujukan pukul 13:00. Kepala Yunara langsung terisi dengan bayangin hidangan makan siang yang lezat, karena rasa lapar yang mulai menunggu. Pagi tadi dia bahkan tidak sempat sarapan karena terburu-buru masuk kerja.

Arvin, yang masih memperhatikannya terkejut dengan reaksi tiba-tiba Yunara. Dari wajahnya yang semula serius dan fokus bekerja, Yunara berubah menjadi penuh kebahagiaan dengan teriakan kecilnya. Kejutan tersebut membuat Arvin tersenyum sendiri, melihat sisi penuh semangat dari Yunara dalam momen yang tak terduga.

"Kau mau makan siang? "Tanya Arvin begitu melihat Yunara bangkit dari tempat duduknya.

" Iya, pak, "jawab Yunara dengan senyuman.

" Makan siang bersama ku, "ajak Arvin sambil berdiri dari tempat duduknya dan mengarahkan langkahnya keluar.Namun, Yunara masih terdiam di tempatnya, memproses ajakan Arvin yang mengundangnya
Untuk makan siang bersama. Arvin mengalihkan pandangannya ke arah Yunara yang masih berdiri di tempat yang sama.

"Kau tidak mau? " Tanya Arvin.

"Ah? Oh, tentu, "ucap Yunara dengan gugup, merasa kegugupan tak di sebabkan oleh kedudukan bos yang mengajaknya makan siang bersama, melainkan karena harus berada di situasi makan bersama dengan sosok tampan, terlebih lagi, Yunara selalu merasa kurang fokus ketika bersama pria tampan seperti Arvin.

Arvin membawa Yunara makan siang di kafe dekat kantor, tempat yang sudah sangat akrab baginya. Kafe itu bukan hanya tempat untuk makan siang, tapi juga tempat di Arvin sering menghabiskan malam hari. kadang-kadang, dia datang hanya untuk bersantai atau menyelesaikan pekerjaan sambil mengetik laptop.

Sekarang, Yunara dan Arvin duduk bersama di salah satu meja di kafe itu. Suasana hati ini terlihat agak sepi, berbeda dengan hari biasanya yang selalu ramai dengan pengunjung, terutama karyawan dan staf yang biasanya juga makan siang di sana.namun, hari ini mereka memilih tempat yang lebih privat, mungkin karena mereka mengetahui bawah bos mereka akan makan di tempat tersebut.

Yunara melihat sekeliling dengan senyuman yang terpancar di wajahnya."kantor mu sangat besar, aku sangat terkagum saat melihatnya. Aku sering lewat sini ketika pulang kerja, tapi aku tidak pernah tahu bawah kantor ini adalah perusahaan mu, "ucapnya dengan terkekejutan yang masih terbaca di matanya.

"Aku senang mendengar kalau kau sudah mengenal pemiliknya, "jawabannya sambil memberikan senyuman.

Arvin terseyum ramah sambil menatap daftar menu yang ada di atas meja kafe ituitu. " Kau mau makan apa? "Tanyanya pada Yunara dengan penuh perhatian. Meskipun sebenarnya Arvin sudah sangat hafal dengan daftar menu, namun ia memilih untuk menunjukkan nya pada Sekertaris barunya.

Yunara merenung sejenak sebelum menjawab, "hmm, aku akan pesan pizza dan jus jeruk, " Jawabannya dengan sopan dan senyuman ringan di wajahnya.

Arvin dengan senyuman ramah memanggil pelayan kafe untuk menyiapkan pesanan Yunara dan dirinya sendiri. "Bisakah kau menyiapkan Pizza dan dua gelas jus jeruk, terima kasih. "Pesan Arvin dengan sopan.

Di kafe yang nyaman, Arvin bertanya pada Yunara dengan ramah, "kau suka pizza? "

Yunara menjawab, "ibu ku sering membuatnya di rumah. "

"Mmm, apa pizza buatan ibu mu enak? " Tanya Arvin dengan Antusias.

Yunara terseyum, "sangat enak. "

Lalu, dengan nada lembut, Arvin bertanya lagi, "boleh aku ke rumah mu? "Di pandangi dengan pandangan tajam, ia mendekatkan wajahnya di depan Yunara, membuatnya merasa sedikit kaku.

"Apa maksud mu? " Tanya Yunara sambil menjauhkan sedikit wajahnya, hatinya berdetak kencang.

"Makan pizza di rumah mu, "jawab Arvin kembali ke posisi semula, sambil tersenyum sulit di artikan.

"Ooh, tentu, pak. "Jawab Yunara sambil tersenyum malu-malu, pikirannya terombang-ambing dengan kebingungan dan kegugupan yang terselip di hatinya.

Di saat senja mulai merayap, matahari perlahan mulai tengelam di balik awan, meninggalkan langit yang tertampar dengan warna-warni Keemasan  senja. Gelin yang tadinya tertidur dengan tenang, memegang erat tangan sang nenek, masih tetap dalam posisi yang sama saat ia terbangun dari tidurnya.

Mata Gelin perlahan terbuka, terbangun oleh suara dengkuran khas  yang terdengar dari hidung sang nenek yang tertidur pulas. Senyuman tipis di bibirnya terukir saat melihat ekspresi tenang dan damai yang terpancar di wajah sang nenek.

Dengan lembut, Gelin menyentuh dahi sang nenek, mencari tanda-tanda demam. Napasnya lega saat merasakan panas tubuh sang nenek telah mereda, menandakan bawah kondisi sang nenek telah membaik.

Dengan tatapan mata yang berkaca-kaca karena emosi yang terlalu kuat, Gelin memandangi wajah lembut sang nenek. Suara lembutnya terdengar di ruangan , "Nenek, jangan sakit lagi, "ucapnya dengan suara lirih, menahan air yang hampir keluar dari matanya.

Di ambang keputusan, Gelin tak bisa lagi menahan tangisnya yang ingin pecah. Dalam keputusan yang menusuk hati, Gelin mengambil keputusan untuk meninggalkan kamar sang nenek. Langkah demi langkah ia menuju keluar, merindukan hembusan angin segar  bisa menjadi pemenang hatinya.

Tiba di luar, Gelin menghirup udara segar yang sejuk. Sinar rembulan yang lembut memberikan cahaya penuh kedamaian di sekitarnya. Di bawah langit malam yang tenang, Gelin merendung, membiarkan air mata menetes perlahan di pipinya.

Really Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang