Chapter 5 - Arc 1: Museum of Failure

145 23 2
                                    


Chapter 5 - Dokter dan Desa Mati


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Entah sudah berapa lama mereka berlari, mereka masih dihadapkan oleh pepohonan yang menyesatkan. Alana, Darren dan Serena memiliki pikiran yang sama. Mereka disesatkan, jalan keluar seakan tertutup membuat mereka hanya berputar-putar.

Jantung Alana berdegup kencang saat ia menyusuri semak belukar yang lebat, kakinya terasa pegal karena berlari terus menerus. Hutan itu tampak membentang tanpa henti di hadapan mereka, alamnya yang seperti labirin mempermainkan pikiran mereka yang lelah. Alana tau bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini ketika dia melihat apel yang dipenuhi kelabang kemarin.

Darren menoleh ke belakang, alisnya berkerut karena frustrasi. Keringat menetes di dahinya, bercampur dengan tanah dan kotoran yang menempel di wajahnya.

"Sena," ia berseru, suaranya penuh dengan desakan. "Apakah kau baik-baik saja?"

Serena, beberapa langkah di belakang, mengangguk terengah-engah dan tersenyum lemah. "Aku mencoba bertahan"

Darren mengangguk, tekadnya tak tergoyahkan meski rasa takut menggerogoti pikirannya. "K-kita harus terus bergerak." Ujarnya sedikit bergetar "Beritahu aku jika kakimu tidak kuat. Aku akan menggendongmu"

Ketika mereka terus berjalan, dedaunan lebat di sekitar mereka seakan membisikkan rahasia-rahasia yang menyeramkan, bayangan-bayangan menari-nari di luar garis pandang mereka. Nafas Alana terengah-engah, tenggorokannya kering karena kelelahan dan ketakutan. Cabang-cabang pepohonan mencakar mereka seperti jari-jari tulang, seakan berusaha menyeret mereka lebih dalam ke dalam kegelapan.

Alana tersandung akar yang sudah keriput, hampir terjatuh, tapi Darren menangkap lengannya dengan cengkeraman yang kuat, menahannya sebelum dia bisa menyentuh tanah. Kanopi lebat di atas menimbulkan bayangan menakutkan yang tampak menari-nari di sekitar mereka, udara pekat dengan bau busuk.

Ketika mereka terus maju, pepohonan mulai menipis, memperlihatkan tempat terbuka di depan. Kelegaan menyelimuti mereka saat mereka keluar dari pelukan hutan yang mencekik, hanya untuk membeku dalam kengerian melihat pemandangan di depan mereka. Tempat terbuka itu bukanlah tempat perlindungan.

Tempat terbuka itu bukan tempat perlindungan. Di depan mereka terbentang sebuah desa yang sunyi, bangunan-bangunannya runtuh dan lapuk, diselimuti keheningan yang tidak wajar. Nafas Alana tercekat di tenggorokannya saat dia melihat pemandangan yang menakutkan itu, rasa dingin menjalar di tulang punggungnya. Tangan Darren mengepal saat dia mengamati sekeliling mereka, rasa takut menyelimutinya.

Mata Alana membelalak ngeri saat ia berbisik, "Tempat ini... rasanya seperti kematian." Udara semakin dingin saat mereka melangkah dengan hati-hati memasuki desa yang ditinggalkan, tanah di bawah kaki mereka ditutupi lapisan debu yang tebal.

Haunting EchoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang