Abam tak lagi mempedulikan keluarganya. Ia bergegas menuju parkiran dimana mobilnya berada lalu pergi dari restoran untuk mencari keberadaan Aya. Ia berpikir mungkin Aya belum cukup jauh dari sekitar restoran dan ternyata benar, ia melihat Aya tengah berjalan ke sebuah halte dengan kepala yang tertunduk.
Hati Abam terasa berdenyut ikut merasakan sakit walaupun ia tak tahu apa masalah yang sebenarnya.
Abam menjalankan pelan mobilnya, "Aya!" Panggil Abam dari dalam mobil.
Aya menoleh, hanya sebentar dan kembali berjalan. Melihat itu, Abam menghentikan mobilnya lalu turun. Dengan langkah yang besar, ia berhasil meraih pergelangan tangan Aya.
"Kamu kenapa, Ay?"
Aya menatapnya tajam, lalu melepaskan tangan Abam. "Kenapa gak bilang dok?"
"Hah?"
"Kenapa gak bilang sebelumnya kalo ternyata saya diajak buat makan malam sama keluarga dokter?"
"Ooh.. sorry Ay. Maaf kalo saya bilang pasti kamu gak akan mau."
"Oh gitu.. Tapi kalo dokter bilang, saya gak bakal gini dok." ucap Aya lalu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri.
"Saya gak tau permasalahannya dimana, jadi saya harus apa biar dimaafin kamu, Ay?"
Aya diam sejenak, lalu kembali menatap Abam dengan tatapan yang datar.
"Cukup dengan gak perlu muncul di hadapan saya lagi, dok."
Abam terkejut, jujur. "Gak bisa gitu.."
"Kenapa?"
"Saya udah terlanjur suka sama kamu, Ay. Buat gak ketemu kamu lagi, saya gak bisa."
"Hapus aja perasaannya. Gampang."
"Gak mau. Tolong, maafin saya Ay."
Aya mendecak, "Dok, yang disukain dari saya apanya sih?" tanyanya namun Abam hanya diam.
"Gini deh dok, kalopun kita berdua pacaran, gak akan pernah bahagia. Karena apa? Saya gak ketemu sama ayah saya lagi karena dr. Prabu. Ayah saya yang udah meninggal juga masih dituduh, difitnah, dirugikan, karena siapa? Karena keluarga dokter yang kekuasaannya hebat banget. Sedangkan keluarga saya gak ada apa-apanya. Mau minta keadilan aja udah kalah sama harta." Jelas Aya.
"Maksudnya?"
"Maksudnya luka dan trauma saya gak bakal pernah sembuh, dok." jawab Aya dan hendak beranjak pergi dari sana.
Aya menghela napas panjang, "Apa lagi sih, dok?!"
"Saya minta maaf atas nama ayah saya. Tapi izinin saya buat tetep suka sama kamu."
"Ya tuhan.. Oke kita sampingkan masalah ayah saya." Aya melipat kedua tangannya di dada, "Dok, kita aja kastanya udah beda. Keluarga saya cukup sederhana, bahkan banyak cicilan. Dokter yakin saya diterima oleh keluarga dokter? Meski diterima pun, saya gak mau."
"Saya bisa yakinin keluarga saya--"
"Udah dok, gak perlu capek-capek. Saya gak sepantes itu diperjuangkan. Saya dari SMA udah bolak-balik psikiater, mental saya udah gak stabil. Saya jauh dari kata sempurna, jadi stop suka sama saya. Jangan bikin citra dokter jelek karena saya." Aya menghapus airmata di pipinya, "Saya permisi."
Mendengar penjelasan itu, lantas Abam terkekeh.
"Kamu ngeremehin saya kalo gitu, Ay." ucapnya.
Aya mengerutkan dahi, bingung.
"Saya suka sama kamu bukan semata-mata karena kamu cantik. Saya suka kamu apa adanya, tapi ternyata sekarang kamu menghina diri kamu sendiri, itu sama kayak kamu menghina saya karena saya ternyata suka sama orang yang hina, padahal sebenernya gak begitu." Jelas Abam, ia maju selangkah mendekat pada Aya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay To Be A Nurse
FanfictionSemua orang punya impian masing-masing. Seperti aku dan impian hebatku jadi seorang perawat. Aya.