Pada tengah hari, Kay terbangun dengan tubuh lebih segar. Tersenyum samar melihat tubuhnya sudah berbalut pakaian dan kamar ini sudah rapi.
Secara bersamaan, pintu terbuka. Rich masuk dengan mendorong troli yang baru saja diantarkan pelayan hotel.
"Honey? Syukurlah kamu sudah bangun sayang." Menyiapkan bubur untuk dibawa ke hadapan Kay.
"Makan ya, setelah itu minum obatmu lagi. Aaaaakkk...,-" menyuapi Kay dengan sesendok bubur.
Kay melahapnya tanpa drama, dia bukanlah pria manja yang akan berlarut dalam kesakitan. Hingga bubur itu habis dalam sekejab dan meminum obatnya dengan patuh.
Saat Rich naik ingin memeluknya di atas ranjang, Kay sedikit menghindar.
"H-honey, ka-kamu takut padaku?" Suara Rich bergetar.
"Ti-tidak!" Kay merebahkan kepalanya ke dada Rich lebih dulu, memeluk erat agar Rich tak menyadari ketakutannya.
"Maaf."
Hanya itu kata yang keluar dari bibir Rich, dengan tangan membelai punggung Kay.
"Maaf aku terlalu bersemangat dan membuatmu menderita." Ulangnya.
"Um, mungkin kamu harus berhati-hati lain kali."
Rich menarik Kay makin menempel ke tubuhnya, ia kehabisan kata. Melihat kondisi Kay cukup membuatnya merasa sangat bersalah.
Efek obat yang baru saja Kay minum, membuat tubuhnya ingin beristirahat lagi. Perlahat kelopak itu memejam, menularkan kantuknya ke Rich karena sejak dini hari tadi, dia tak tidur.
Mereka kembali merajut mimpi dengan tubuh saling berbagi kehangatan dalam pelukan.
***
Sore hari, Kay sudah bersiap dengan semua barang mereka , bahkan sudah memesan tiket pesawat. Tapi Rich menolak pulang.
"Kamu belum pulih sepenuhnya, aku sudah menghubungi Papi dan beliau setuju kita menambah satu malam lagi disini."
"Tapi aku sudah sehat."
Rich mendekat, memeluk Kay dari belakang. "Kalau istriku sudah sehat, kita bisa berkencan malam ini." Menghujani pipi Kay dengan ciuman.
Kay diam membiarkan.
"Mau kan?" Tanya-nya lagi.
"Um," jawab Kay singkat, mendebat juga percuma. Kay pikir bagus juga tak buru-buru kembali, jadi dia bisa mencuri waktu untuk mengunjungi Khani lagi nanti.
***
Sejak tadi, Rich terus berbicara meski Kay tak terlalu menanggapi. Pria itu tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, merasa khawatir karena Khani belum juga membalas pesannya dan berpikir keras bagaimana cara agar bisa bertemu lagi.