II

27 10 0
                                    

Suasana dingin kastil menerpa kulit mulus Eleonora, membuatnya menggigil. Ia membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya terasa sakit di berbagai tempat, terutama di bagian tangannya. Saat ia menoleh, terlihatlah sebuah rantai besi yang melilit tangannya erat, meninggalkan bekas merah di kulitnya.

Masih setengah sadar, Eleonora melihat sekelilingnya. Ruangan tempat ia berada tampak suram dan menakutkan, diterangi hanya oleh cahaya lilin yang redup.

Ia tidak sendiri di sana. Ada beberapa gadis lain yang seumuran dengannya, duduk di sudut ruangan dengan wajah yang tampak ketakutan dan putus asa.

Eleonora berusaha bangkit, meskipun rantai besi yang berat bergelantungan di tangannya membuat setiap gerakan terasa sulit. Dengan susah payah, ia berjalan menuju pintu besi yang tertutup rapat.

Dengan penuh tekad, Eleonora mulai memukul pintu besi itu dengan rantai yang melilit tangannya, berharap bisa mendobraknya. Namun, usahanya sia-sia. Pintu itu tidak bergeming sedikit pun. Setiap pukulan hanya menghasilkan suara dentingan besi yang menggema di ruangan.

Tiba-tiba, suara lembut namun putus asa menghentikan aksinya. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini," ucap seorang gadis dengan suara lirih.

Eleonora menoleh, melihat gadis itu duduk bersandar di dinding, dengan wajah yang tampak lelah.

"Siapa kau? Kenapa kita ada di sini?" tanya Eleonora dengan suara serak.

Gadis itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Namaku Anastasya Cordelia. Kita semua dibawa ke sini untuk dijadikan selir Raja Edmund."

"Tidak ada yang bisa keluar dari sini tanpa izin dari penjaga. Mereka akan segera datang dan membawa kita ke istana."

"Tidak mungkin... Kita harus bisa keluar dari sini," bisiknya, meskipun harapannya semakin menipis.

Eleonora duduk termangu di sudut ruangan yang dingin, dengan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Di sebelahnya, Anastasya duduk dengan penuh keheningan, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.

Beberapa saat kemudian, pintu besi yang massif itu terbuka perlahan. Cahaya dari luar memenuhi ruangan, mengungkapkan sosok seorang pria berjubah yang gagah. Ia memasuki ruangan dengan langkah besar, diikuti oleh dua prajurit dibelakangnya.

"Selamat pagi, gadis-gadis," sapa pria itu dengan suara halus namun berwibawa. "Saya adalah Percival, utusan Raja Edmund. Kami telah datang untuk membawa kalian ke istana."

Eleonora dan gadis-gadis lainnya menatap Percival dengan campur aduk perasaan takut dan penasaran. Mereka tahu bahwa saat ini tidak ada jalan lain selain patuh pada perintahnya.

Dengan penuh hati, Percival memerintahkan prajuritnya untuk membuka rantai besi yang melilit tangan Eleonora dan gadis-gadis lainnya.

Satu per satu, mereka diarahkan untuk berdiri dan mengikuti Percival menuju pintu keluar.

Anastasya menoleh ke arah Eleonora dengan pandangan cemas namun berusaha memberi semangat. Eleonora mengangguk kepada Anastasya sebagai tanda bahwa mereka harus tetap kuat.

Mereka keluar dari ruangan kecil itu dan melangkah di lorong-lorong kastil yang megah. Cahaya matahari pagi menyilaukan setelah mereka berada di dalam kegelapan ruangan sebelumnya.

Perjalanan menuju istana Raja Edmund berlangsung dalam keheningan tegang. Eleonora mencoba mengingat setiap jalan yang mereka lewati, berharap suatu saat nanti bisa menggunakan pengetahuan itu untuk melarikan diri.

Akhirnya, mereka tiba di halaman besar istana yang megah. Dinding-dinding tinggi terhampar di hadapan mereka, mengesankan dan menakutkan pada saat yang bersamaan. Percival mengarahkan mereka masuk ke dalam istana melalui gerbang belakang yang besar dan menjulang tinggi.

Love letter EleonoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang