XIV

3 1 0
                                    

Alaric melangkah pergi dengan langkah cepat, amarahnya menggelora dalam dada. Setiap kata yang diucapkan Wilian terus terngiang di telinganya, mengguncang keyakinannya tentang cinta dan perlindungan yang selama ini ia banggakan. Mungkinkah ada benarnya? Apakah ia memang terlalu mengurung Eleonora dalam sebuah kandang emosional, tanpa memberi kesempatan untuk bernafas dan memilih jalannya sendiri?

Rasa benci semakin membara ketika ia teringat bagaimana Wilian seolah-olah tahu lebih baik dari dirinya tentang cinta. Seolah-olah Wilian bisa mengerti perasaannya lebih dalam daripada yang ia bisa.

Andai saja Raja Edmund, ayahnya, tidak melarangnya untuk membunuh Wilian, ia pasti akan melakukannya hingga tak tersisa satu pun bagian dari pemuda itu. Mungkin itu bisa membalas dendam atas semua rasa sakit yang ia rasakan, menghapus keberadaan Wilian dari ingatannya selamanya.

Namun, pemikiran itu segera sirna ketika ia mengingat posisi Wilian. Anak seorang jenderal yang cukup berpengaruh, seorang prajurit yang berani. Jika ia melakukannya, ia tahu akan ada konsekuensi besar, bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk kerajaan.

Raja Edmund pasti akan marah, dan Alaric tidak ingin memicu permusuhan antara dua keluarga yang mungkin dapat membahayakan stabilitas kerajaan.

"Ini semua salahku," bisiknya pada diri sendiri. "Aku tidak bisa membiarkan perasaanku menguasai keputusan ini. Jika aku melindunginya dengan cara ini, apa gunanya?"

Alaric berhenti sejenak, menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Ketika melihat betapa luas dan indahnya, hatinya bergetar, menyadari betapa kecilnya ia dalam skema besar kehidupan ini. Apakah cinta sejatinya memang seharusnya seperti ini? Terjebak antara cinta dan pengorbanan?

‎-⁺˖°ʚ🕊️ɞ°⁺˖-

Di sisi lain, Eleonora berlari melewati padang terbuka di bawah cahaya bulan yang menerangi jalannya. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, tetapi hatinya terasa berat. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin jauh dari kehidupan lamanya, dan semakin dekat pada ketidakpastian.

Dia tahu ini adalah keputusan yang tepat-pergi sejauh mungkin, meninggalkan semua yang bisa membahayakannya. Namun, bayangan Wilian yang tertinggal membuat dadanya sesak.

Tadi, di saat terakhir mereka bertemu, pelukan Wilian terasa begitu hangat, penuh perlindungan. Namun, ucapan terakhirnya masih menggema di telinga Eleonora.

"Pergilah sejauh mungkin sampai kau menemukan seseorang yang tepat untukmu." Kalimat itu menghantamnya dengan kuat, seolah Wilian sudah memutuskan untuk tak kembali, untuk mengorbankan dirinya agar Eleonora bisa bebas.

Air mata perlahan menggenang di sudut matanya, tapi ia terus berlari, mengikuti instruksi Wilian. "Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri. Tapi hatinya memberontak. Bagaimana bisa ia meninggalkan Wilian begitu saja? Orang yang baru saja ia kenal, namun telah membuatnya merasa begitu aman, jauh dari ketakutan yang menghantuinya selama ini.

Di tengah pikirannya yang berkecamuk, Eleonora berhenti sejenak di tepi sebuah hutan kecil. Tangannya meraih sesuatu di saku jubahnya-perlengkapan yang Wilian berikan padanya untuk perjalanan ini. Ketika ia membuka gulungan kain kecil yang ia bawa, di dalamnya terdapat seuntai kalung sederhana dengan liontin kecil yang berkilauan di bawah cahaya bulan.

Eleonora terdiam, memandang liontin itu dengan rasa bingung. Mengapa Wilian memberinya ini? Apakah ini simbol sesuatu? Ataukah hanya sebuah tanda perpisahan? Dengan tangan gemetar, ia menggenggam liontin itu erat-erat, mencoba menenangkan hatinya yang tak karuan.

"Wilian... apakah aku akan melihatmu lagi?" bisiknya pelan, tanpa ada yang mendengar.

Sambil memandang ke arah hutan yang gelap di depannya, Eleonora merasa seolah seluruh dunia berubah menjadi lebih besar dan menakutkan.

Love letter EleonoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang