XI

3 1 0
                                    

Suasana sunyi menyelimuti kamar Eleonora, yang dulu selalu dihiasi oleh pemandangan Eleonora. Kini, hanya ada Alaric yang terpaku di sana, dikelilingi bayangan Eleonora yang tak terlupakan.

Kamar yang dulu jarang ia kunjungi, kini menjadi tempat yang ia datangi setiap hari, dihantui oleh kenangan indah bersama sang pujaan hati.

Alaric melangkah perlahan, kakinya terasa berat bagaikan ditarik oleh gravitasi kesedihan. Ia menutup pintu dengan pelan, seolah ingin menahan suara tangisan hatinya yang tertahan. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan, melihat furnitur yang tertata rapi, pakaian Eleonora yang masih tergeletak di kursi, dan buku-bukunya yang tersusun di rak.

Setiap benda di sana seakan-akan berbisik tentang kenangan indah bersama Eleonora, menusuk relung hatinya yang terluka.

Alaric duduk di kursi dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke luar. Pemandangan indah di taman istana tak mampu menarik perhatiannya.

Pikirannya dipenuhi bayangan Eleonora yang selalu menatap nya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia merindukan semua itu, merindukan kehangatan diwajah Eleonora yang selalu mampu membuatnya merasa bahagia.

Sesekali, Alaric mengalihkan pandangannya ke meja rias Eleonora. Di sana, tergeletak sebuah kotak kecil berwarna merah muda. Ia membukanya perlahan, dan di dalamnya terdapat sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati.

Kalung yang dulu ia berikan kepada Eleonora sebagai tanda cintanya. Alaric menggenggam liontin itu erat-erat, merasakan getaran kehangatan yang seakan-akan berasal dari Eleonora.

Air matanya mulai mengalir, membasahi pipinya yang pucat.

Rasa penyesalan dan rasa bersalah menggerogoti hatinya. Alaric merasa gagal melindunginya, gagal memberikan rasa aman yang seharusnya ia dapatkan.

Secara tak terduga, Alaric teringat kebiasaan Eleonora yang selalu menulis di buku atau sobekan kertas. Ke mana perginya semua catatan itu? Tidak mungkin dia membuangnya begitu saja setelah selesai menulis.

Dengan cepat, Alaric mulai menggeledah kamar Eleonora, mencari petunjuk keberadaan catatan-catatan tersebut. Ia memeriksa setiap laci, lemari, dan sudut ruangan, namun tak menemukan apa pun yang menarik perhatiannya.

Frustrasi mulai melanda Alaric. Ia melangkah ke arah tempat tidur, di mana Eleonora biasa berbaring. Dengan lembut, ia mengusap bantalnya dan mencium aromanya yang masih tertinggal, bagaikan seorang pecandu yang tak bisa lepas dari kekasihnya. Saat ia terhanyut dalam imajinasinya tentang Eleonora, pandangannya tertuju pada sesuatu yang terselip di balik bantal.

Sebuah kunci kecil dengan pita merah berpadu hitam tergeletak di sana. Alaric tersenyum tipis, terhibur dengan kepolosan Eleonora yang menyembunyikan benda di balik bantal.

Tapi untuk apa kunci ini? Penasaran, Alaric mengamati kunci itu lebih dekat.

Mungkinkah kunci ini membuka sesuatu yang penting?

Karena dibuat penasaran oleh kunci misterius itu, ia semakin yakin untuk menemukan benda yang bisa dibuka dengan kunci kecil yang ia temukan di balik bantal Eleonora. Ia tidak ingin melewatkan petunjuk apa pun yang mungkin membantunya menemukan Eleonora.

Intuisi Alaric membawanya ke bawah kolong kasur Eleonora. Segera Alaric menundukkan badannya dan mengintip ke bawah kolong kasur Eleonora. Ia mencari benda yang mungkin bisa dibuka dengan kunci kecil yang baru saja dia temukan. Dan benar saja, di sana ia menemukan sebuah kotak yang menarik perhatiannya.

Kotak itu dilapisi titanium dan dihiasi dengan ukiran yang indah, membuatnya tampak begitu istimewa.

Perasaan penasaran Alaric semakin membara. Dari mana kotak ini berasal? Apa yang ada di dalamnya? Ia tak sabar untuk segera mengetahuinya.

Love letter EleonoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang