PERINGATAN!!! Cerita ini sepenuhnya fiksi dan tidak didasarkan pada peristiwa atau orang nyata. Karakter, tempat, dan kejadian dalam cerita ini adalah hasil imajinasi penulis. Setiap kemiripan dengan orang atau peristiwa nyata adalah kebetulan semata. Pembaca diharapkan untuk menggunakan imajinasi mereka dan menikmati cerita ini sebagai karya hiburan.
Caden fokus menyantap makanannya sementara Janette ingin sekali mengobrol dengan Caden sang tokoh favoritenya dalam sejarah Kerajaan Bergheim dan sekarang mungkin sudah menjadi pujaan hatinya. Namun, aura intimidasi Caden membuat semua energi ekstrovert Janette menghilang.
Janette terus menarik nafas dan membuangnya perlahan untuk menenangkan diri, "Eum..Caden... Eh!" serunya menutup mulut "M-maaf, Yang Mulia Caden maksudku" perkataan tadi langsung menarik perhatian Caden.
Caden hanya menatap Janette dengan tatapan datar, "Panggil itu saja saat kita berdua, aku sudah lelah mendengar sapaan Yang Mulia". Wow sombong juga, fikir Janette
"Kata Astara kau pulang besok?" Janette kembali memasukkan sepotong daging kemulutnya. "Kau keberatan jika aku pulang hari ini?" sahut Caden masih dengan tatapan datarnya. "T-tidak.. Aku hanya sedikit kaget dan tidak sempat bersiap-siap menyambutmu" sahut Janette sedikit pelan karena Caden yang terus menatapnya
"Urusan di istana selesai dengan cepat" jawab Caden singkat.
Setelah makan malam, Janette kembali ke kamarnya diantar dengan Astara sambil merengutkan mukanya "Kenapa dengan mukamu itu?" ketus Astara. "Tidak.." Janette hanya menjawab sekenanya dan langsung masuk ke kamarnya. "Hei..hei..dasar gadis aneh" Astara menghembuskan nafasnya kesal.
Janette terduduk lemas di kasurnya, "Kenapa kamar Caden terpisah darikuu!!" teriaknya kesal sambil menendang-nendang udara. "Argghhh Caden ku kutuk kasurmu sangat tidak nyaman hingga kau pindah kesini" katanya sambil terengah-engah. "Aku ingin mengobrol dengannya, kelihatannya dia tidak menyukaiku, huhuhu... Roseanne cantik kok" katanya terlihat frustasi sambil memegang kedua pipinya kencang. "Jika aku bisa memikat sepuluh pria dengan wajah ini, maka Caden bisa memikat seribu wanita" ujarnya sedih.
Janette terus-terusan merengut dan mengeluh sendirian dikamar. Hingga tak terasa waktu sepertinya sudah tengah malam, dan waktu menunjukkan pukul satu pagi. Janette masih belum bisa tertidur, dengan mata yang masih segar ia tiba-tiba memiliki ide untuk berjalan-jalan mengitari kastil untuk melihat peninggalan keluarga Silverberg yang mungkin pernah ia lihat di museum negara. Namun kali ini, ia pasti melihatnya dengan bentuk peninggalan yang masih bagus dan mulus, dasar anak sejarah.
Janette berjalan perlahan mengendap-endap keluar dari kamarnya, ia memperhatikan sekitar dan untungnya tidak ada penjaga yang menjaga pintu kamarnya seperti biasa. "Apakah mereka tidak berjaga saat malam? apa mereka kira penyusup hanya datang saat siang hari?" gumam Janette sambil berjalan di lorong-lorong kastil yang sedikit redup pencahayaan.
Ia langsung terkesima saat melihat lukisan tunggal yang melukis ibu dari Caden, sang Lady terhormat dari keluarga bangsawan Bernadotte, Mendiang Yang Mulia Indigo Bernadotte yang memiliki mata berwarna ungu gelap yang menawan yang diwariskan oleh Caden. Dibawahnya terdapat kotak kaca yang ditempel ke dinding yang berisikan mahkota kepemilikan Yang Mulia Indigo yang berbentuk seperti daun daun kecil perak berbentuk setengah lingkaran dan dihiasi perhiasan berbentuk tetesan air. Mahkota itu mengeluarkan kilatan cahaya berwarna ungu ringan yang membuat mahkotanya semakin tampak mewah.
Janette ingat mahkota ini juga dipajang di museum negara, namun ia langsung menyadari bahwa pajangan di museum negara hanyalah tiruan. Karena ia pun percaya kalau berabad-abad kemudian pun, mahkota asli ini akan tetap menawan. Janette terlalu asyik melihat pajangan-pajangan hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan pintu salah satu ruangan terbuka dengan suara batuk kencang. "Anne?" Caden keluar dari kamarnya sambil terbatuk-batuk
"Caden? Kau sakit?" tanya Janette khawatir.
"Ah, tidak. Aku hanya batuk biasa, kenapa belum tidur?" tanya nya datar. "Kau mengapa belum tidur juga?" kata Janette sambil bertolak pinggang menatap Caden. "Aku bertanya duluan Anne, jawab aku dulu" katanya lalu disambung batuk-batuk yang membuat tenggorokan Janette perih sendiri mendengarnya.
"Hey..ayo aku buatkan minuman hangat untukmu" ujar Janette dengan tidak sengaja langsung menarik tangan Caden. Namun bukannya berjalan, Janette keberatan menarik tubuh Caden ditambah Caden yang memang tidak mau bergerak. Mereka bertatap-tatapan selama lima detik sebelum Janette sadar lalu melepas tangan Caden segera. "A-ah..aduh, maaf" tunduknya malu.
Caden hanya berdehem singkat "Tidak apa-apa". "Tapi aku serius Caden, ayo aku buatkan minuman hangat agar batukmu cepat sembuh, aku janji tidak akan menaruh sihir apapun" Janette tiba-tiba menggerakkan tangannya membentuk simbol perdamaian dengan dua jari yang hanya dimengerti manusia modern.
Caden yang kembali terbatuk lantas membuat Janette semakin khawatir dan menarik Caden kembali menuju dapur istana. Namun kali ini, Caden menurut dan mengikuti langkah kaki Janette. Sesampainya di dapur, Janette menatap Caden "Kau tau dimana panci kecil untuk merebus air? lalu madu? lalu jahe?" katanya sambil menatap Caden dengan mata polosnya.
Caden hanya menggeleng sambil masih terbatuk sesekali. Janette menepuk jidatnya dan langsung mengitari dapur yang luasnya lebih dari kamar tidurnya yang sebenarnya juga luas. Beruntungnya, Janette segera menemukan panci kecil dan merebus air sembari mencari madu dan jahe. Setelah merebus kedua bahan tersebut hingga mendidih, Janette menuangkannya ke gelas teh yang diambilnya asal dari lemari dan memberikan segelas rebusan jahe madu hangat pada Caden.
Mereka duduk pada meja makan kecil yang biasa digunakan koki serta pelayan yang beristirahat didapur, "Minum perlahan ya?" Janette duduk dihadapan Caden dan sedikit mengipas-ngipaskan minuman itu dengan tangannya. Caden meminumnya perlahan dan merasakan tenggorokannya sedikit lega dan menghangat. "Enak?" tanya Janette sambil tersenyum lembut
Caden hanya mengangguk pelan sambil menaruh kembali gelas teh ke atas meja. Secara tiba-tiba Caden membuat simbol perdamaian dengan dua jari sambil menatap Janette "Apa maksudnya ini?" tanya nya bingung. Janette hanya terkekeh pelan lalu menjelaskan apa maksud simbol ini, "Itu artinya simbol perdamaian namun bisa juga digunakan untuk berjanji akan sesuatu. Namun berjanji juga bisa dengan menyatukan kelingking seperti ini" Janette dengan perlahan mengaitkan kelingking nya ke jari kelingking Caden.
Caden hanya mengangguk-angguk polos "Apa simbol itu dari kerajaanmu?" Janette kembali terkekeh dan mengangguk.
Janette menuangkan sisa rebusan jahe madu ke teko dan membantu Caden membawanya hingga kamar Caden, Janette masuk setelah dipersilahkan oleh Caden dan berjalan untuk menempatkan teko itu di meja kecil disamping tempat tidur Caden. Namun langkah Janette terhenti ketika melihat pedang legendaris Caden yang bersandar pada dinding, pedang itu membuat Janette terkesima karena ternyata apa yang dilihatnya di museum negara masih jauh dari kondisi asli pedang Caden yang jauh lebih menawan. Sampulnya terbuat dari kulit yang berkilat dan terdapat berlian berwarna ungu menempel disana.
Tapi tiba-tiba Caden dengan sigap berlari dan melempar pedangnya kebawah tempat tidurnya, "Kenap-" belum sempat Janette bertanya. Caden langsung dengan segera mengambil teko dari genggaman Janette dan menaruhnya di meja. "Anne, kembali ke kamarmu ya? kau harus tidur" Suara beratnya mengalun lembut di telinga Janette walau tersirat nada kepanikan namun suara Caden yang menawan membuat Janette tidak bisa melawan dan langsung berjalan keluar dari kamar Caden.
Janette kembali ke kamarnya dengan perasaan yang bahagia, ia berjalan dengan melompat-lompat kecil sambil tersenyum riang. Janette kembali terkikik sendiri saat sudah berada di kasurnya dan tertidur dengan keadaan bahagia tanpa memikirkan kejadian barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐄𝐓𝐄𝐑𝐍𝐔𝐒
Fantasy"Pagi bu, Saya ingin meminjam buku ini", Seorang mahasiswi cantik menyerahkan buku sejarah tebal ke perpustakawan. "Really Janette? Kamu sudah meminjam buku ini yang ke sepuluh kalinya!" Bu Margarete menghela napas panjang sambil mengetik nomor ser...