Sengaja kutebar duri pada jarak
yang kian menjauhkan kita
tak mampu membawamu lekas mendekat
Namun, aku tak bisa bertahan
kuterjang kembali jalanan berduri itu tanpa alas kaki
untuk menemukanmu kembali
untuk melihatmu lagi
Cumulonimbus membalut kota Jogja malam itu. Menebarkan aroma tanah basah yang khas sekali dengan hujan. Wulan duduk di tepi jendela, menikmati petrikor yang memanjakan penghidunya. Musim penghujan kali ini terasa lebih dingin dari tahun-tahun kemarin yang telah lalu. Meskipun begitu, tetap tidak ada yang spesial sama sekali.
Seorang perempuan dengan usia empat tahun lebih di atasnya datang dengan dua cangkir teh hangat dalam genggaman. Ia duduk dengan menarik kursi yang tak jauh dari jangkauannya dan menyerahkan satu gelas di tangannya kepada Wulan. Lila, ia memandang adiknya dengan seulas senyum.
"Mbakyu istirahat saja. Pasti capek habis dari Bandung. Suami Mbak belum selesai beres-beres kamar, ya?" Wulan membuka suara setelah sadar wajahnya dipandangi dengan begitu intes oleh sang kakak.
"Justru karena sudah selesai beberes, makanya Mbak di sini. Mau ngobrol sama kamu. Mbak enggak capek."
Tadi siang, Wulan dikejutkan dengan kedatangan kakaknya dari Bandung. Perempuan itu selalu memberikan kabar baik pada Wulan, namun akhir-akhir ini terasa ada yang aneh. Wulan bahkan tak tahu apa alasan Lila mendatanginya ke kota Jogja, karena sebelumnya ia tak memberikan kabar apa pun.
"Wulan, gimana kabar kamu? Kamu rajin terapinya, 'kan?" Lila kembali membuka suara.
Wulan memandangi tubuhnya yang kurus dan kursi roda yang turut menemaninya beberapa bulan terakhir.
"Tentu. Aku sehat, Mbak. Ada kelumpuhan kecil di syaraf kakiku, tapi kata dokter masih bisa sembuh," tutur Wulan bersama seulas senyum.
"Kamu bahagia tinggal di sini?" tanya Lila sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara
Teen FictionApa yang bisa kamu pelajari dari sebuah kehilangan? BASKARA | cbg written by putchicolate © 2 0 2 4