S i d e S t o r y

54 6 4
                                    

S i d e   S t o r y

Yogyakarta, bukan rumah.

"Terima kasih, Mbak, sudah pinjamkan bajunya Mas Jian."

Lila mengangguk kemudian menatap Banyu tanpa ekspresi.

"Kamu nekat banget. Gimana kamu bisa tahu kalau Wulan di sini?"

Banyu tersenyum. "Mbak, akan ada banyak cara bagi seseorang buat menemukan kembali tulang rusuknya yang hilang. Sekarang kita cuma perlu bicara."

Banyu berlalu meninggalkan kakak iparnya di depan pintu dapur. Lila menyadari bahwa kali ini raut wajah Banyu tampak lebih tenang—meski tetap terlihat kaku dan dingin. Mungkin benar katanya; mau bagaimana pun, Banyu akan menjadi tempat bagi Wulan pulang.

Hujan sudah mereda. Suara gerimis yang menjatuhi bumi menjadi alunan musik yang begitu merdu di telinga Wulan. Perempuan itu sibuk merapikan ruang tamu—tempat untuk Banyu bermalam kali ini karena tak ada kamar kosong tersisa di rumah kecil itu.

Banyu menatapnya dengan pandangan sendu. Perasaannya tak dapat diartikan lagi. Senang, sedih, rindu, dan barangkali kecewa, semuanya tergambar jelas di matanya yang kelam itu. Tanpa disadari, Wulan meliriknya takut-takut dan Banyu lantas mendekat.

Saat ini sudah pukul 12 lewat dan tak ada rasa kantuk yang melintas di kepala Wulan. Perasaannya yang sudah mati tiba-tiba kembali hidup hanya karena menyadari keberadaan Banyu di sampingnya. Laki-laki itu duduk dengan tenang sembari menatapnya begitu dalam.

"Kenapa kamu datang ke sini?" Wulan bertanya pelan.

"Tentu, untuk bawa kamu pulang," sahut Banyu cepat tanpa jeda sedetik pun.

"Tanpa penjelasan apa pun?" sambar Wulan dengan pertanyaan lagi.

Kali ini Banyu mengembuskan napasnya panjang. Ia menatap kursi roda di hadapannya, membuat si pemilik merasa begitu tidak nyaman. Banyu harusnya memberikan jawaban, bukan justru memilih bungkam.

Hal ini semakin membuat Wulan merasakan sesak. Bahkan hanya untuk sekedar menarik napas pun rasanya sulit. Tatapan itu terasa begitu mengintimidasi.

"Bukannya kamu yang harusnya kasih penjelasan panjang ke saya?" Kemudian, Banyu mengangkat pandangannya. "Apa semua ini?" lanjutnya dengan tanya lagi.

Wulan menelan ludahnya kasar. Ia tak mau menjawab pertanyaan itu.

"Sudah malam. Sebaiknya kamu tidur dan pergi besok. Saya sudah berbaik hati mengizinkan kamu bermalam di sini. Jangan lancang dengan bertanya macam-macam."

Wulan berbicara cepat kemudian hendak berlalu.

"Harga diri kamu masih begitu tinggi, Wulan." Banyu bersuara cepat. "Apakah jujur adalah sesuatu yang sulit? Dengan saya yang sudah lihat keadaan kamu di sini sekarang?" lanjutnya lagi.

Wulan mengembuskan napasnya. Laki-laki di hadapannya masih tetap sama dan tak pernah berubah sama sekali. Dengan tatapan yang tajam, suara berat, ekspresi dingin, dan kata-kata yang tak pernah meleset dari target. Banyu selalu tahu apa yang terjadi padanya. Ia selalu tahu apa isi hatinya.

"Kamu enggak perlu tahu! Dulu, berulang kali saya bilang bahwa perpisahan itu yang akan memutuskan seluruh ikatan kita. Termasuk hal-hal kecil tentang saya, itu bukan lagi urusan kamu," sahut Wulan pelan tetapi keras.

Banyu meraih cepat kursi roda Wulan agar berada tepat di hadapannya.

"Kamu masih istri saya, Wulan! Jangan asal bicara!"

Rasa nyeri tiba-tiba menggerayangi sudut hati Banyu. Ia masih ingat saat sebelum perpisahan itu terjadi, banyak kata-kata Wulan yang membuatnya semakin marah dan kecewa. Bahkan laki-laki itu selalu mengutuk hari-hari yang datang karena membuatnya semakin dekat dengan perceraian—di mana Banyu tak pernah menginginkan hal itu terjadi.

BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang