BAB 13. CEGIL

97 10 20
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Derap langkah kaki jenjangnya berhenti di belakang tubuh Elea, Isyana akui gadis di depannya ini merupakan orang yang gigih. Sekali mengigit, maka ia tidak akan pernah melepaskan. Elea tipikal perempuan petarung.

Tepukan di kedua sisi bahunya membuat jari jemari tangan Elea berhenti mendadak, kedua kelopak matanya dibuka perlahan. Kepala Elea mendongak, mendapati keberadaan Isyana.

"Ini udah jam berapa, hm? Dan lo masih betah duduk di sini bermain piano seharian. Nggak capek, huh?" Isyana mengeleng kecil.

Elea merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku, pinggangnya sakit. Entah itu di penthouse, tempat berlatih khusus piano, maupun di sekolah. Jari jemarinya seakan tidak ada hentinya digerakkan, apa bedanya uang tanpa kemampuan. Elea tidak ingin bertarung hanya mengandalkan pedang yang tajam tanpa kemampuan tarung yang hebat, sudah 2 mingguan Elea habiskan untuk terus berlatih.

Sementara sang ibu sama sekali tidak terlihat, di hari libur sekolah Elea manfaatkan untuk melakukan terapi dan beberapa kegiatan yang dinilai penting.

"Lo udah denger belom, kalo keluarga Buming tengah merapatkan perihal pertunangan ulang." Isyana melangkah menunju sofa, merebahkan tubuhnya di sofa.

Elea bangkit dari posisi duduknya, tersenyum miring. "Ya, gue udah dengar. Nggak sulit buat gue ngelempar kerikil di air yang tenang," jawab Elea santai, "dan boom! Riaknya langsung bikin Rania ketar-ketir."

Isyana terkekeh. "Lo benar-benar bikin gue kagum. Well, lo cukup nakutin kalo jadi musuh, Elea. Menguntung kalo jadi sekutu," kata Isyana, "tapi, gue rasa bakalan berat buat bisa ngejatuhin Rania. Karena apa? Kalo lo itu iblis betina, maka di Rania serigala berbulu domba. Dia pemain ulung, beda lo sama dia cuma di sana. Lo nggak akan bersembunyi di balik topeng apapun, sementara dia akan bersembunyi serapi mungkin buat terlihat sebagai korban."

Elea membawa atensinya lurus ke arah Isyana yang mengulas senyum kecut. Elea mengayunkan langkah kakinya, menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Menghadap ke arah Isyana, bukan tanpa sebab gadis satu ini tidak suka Rania, bukan?

"Apa yang terjadi antara lo dan Rania?" Elea menatap Isyana dengan tatapan menyelidik.

Isyana membuang muka, jari jemari di atas paha saling bertautan. Isyana mencintai piano, sangat malah. Permainan Isyana dan Rania seimbang, sekali. Isyana sangat ingat bagaimana ia mengalahkan Rania dalam pelatihan, dan itu bukan kemenangan yang manis untuk Isyana kenang.

"Jari gue dijepit." Isyana mengangkat satu jari tengah ke atas. Isyana nampak kembali mengulas senyum getir. "Bukan sebuah kebetulan, gue amat yakin. Di hari itu, dia lah yang menjepit jari gue di pintu darurat. Kesaksian gue nggak lebih dari rasa iri dan rendah diri di depan Guru dan teman-teman les, cctv katanya nggak idup di hari itu. Omong kosong sialan, gue jelas ngeliat cctv menyala. Cuma karena gue berada di golongan paling rendah. Gue akhirnya kalah."

SKY MANSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang