BAB 4. MENEMUKAN SEKUTU

88 9 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Siswa-siswi mulai menepi di saat gadis berambut coklat panjang dengan ekspresi wajah datar itu melewati lorong bangunan sekolah, dengan rok sejengkal di atas lutut, make-up tipis, dari atas sampai bawah memakai barang bermerek. Rambut yang dicat coklat terang, tidak ada guru yang berani menegurnya mengingat siapa dia.

Langkah kaki Elea berhenti tepat di depan mading sekolah, sorot mata siswa-siswi mulai terfokus ke arah Elea. Menatap penasaran apa yang akan dilakukan gadis pembuat onar dari keluarga Baskara tersebut, Elea berdecak kecil.

"Pertunjukan pertandingan piano, huh?" monolog Elea, ia tersenyum kecut.

Tangan Elea terulur, ditariknya brosur lomba yang mana dibuat sebagai bentuk dukungan sekolah untuk Rania. Siswa-siswi sontak saja riuh di saat kertas mulai disobek menjadi dua, wajah cantik Rania mulai tak berbentuk saat diremas.

"Gila itu orang, ampek segitunya."

"Iri tiada batas, anak angkat yang berbakat. Tapi, anak kandung si pecundang."

"Huss! Diem, tar rambut lo jadi botak dijambak sama dia."

"Ugh... liat aja matanya tajam kek monster yang siap nerkam mangsa."

Elea dapat mendengar bisik-bisik lirih yang dilempar untuk dirinya, apa peduli Elea. Mereka semua bukan lawannya, gadis berparas ayu ini mengincar Rania.

"Elea!" seruan lantang mengalun di lorong.

Pemuda dengan earphone bluetooth yang mulai diturunkan, dirangkulnya pundak Elea. Gadis cantik itu melotot ke arah David, sayangnya David tidak mengindahkan sorot mata tajam sang gadis.

"Apa itu?" tanya David melirik ke arah kertas yang ada di tangan Elea.

Meskipun mereka berdua sudah berbicara tadi malam, bukan berati Elea bisa menerima David dengan gampangnya. Elea menurunkan tangan David, kertas yang telah ia remas di masukan ke dalam seragam milik David.

"Gue masih belum bisa terima lo, sepenuhnya." Elea menatap tajam David.

David terkekeh kecil, Elea kembali melangkah meninggalkan dirinya. Gadis remaja satu itu memang sangat aneh, tadi malam menangis di dalam pelukannya. Sekarang malah galak minta ampun, David mengedarkan pandangan matanya.

Ekspresi ramahnya seketika terlihat garang, membuat para siswa-siswi langsung bubar.

***

"Aduh! Papa gimana sih? Masa itu aja nggak bisa? Isyana nggak mau. Pokonya Papa harus bisa!" Gadis berambut gelombang itu mengerang kesal bukan main.

". . . ."

"Aduh, ya, udahlah. Nanti Isyana bicarain sama Mama deh." Isyana menutup sambungan telepon sepihak.

SKY MANSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang