Apa? Kenapa?

155 17 2
                                    

Jogja, Jum'at 12 Februari
16.05

Sudah 1 jam setalah bel pulang berbunyi. Namun, Erine dan Oline masih berdiam diri di sekolah.

"Masih belum siap Rin? Mau sampe jam berapa di sekolah terus?"

"Gue belum siap Lin, takut malah terjadi hal yang engga gue harapin kalau kita ke sana."

Oline dengan lembut mengulurkan telapak tangan kanannya ke hadapan Erine.

"Lo bisa percaya sama gue?"

Tangan milik Erine yang terlebih dahulu mempercayai perkataan Oline dibanding anggota tubuh lainnya, mulai bergerak dan meletakkan telapak tangannya pada telapak tangan Oline.

"Bisa. Tapi lo harus janji jangan bohongin gue kali ini, jangan tinggalin gue, jangan ngelakuin hal yang ga seharusnya dilakuin. Okayy?"

"Janji."
Oline menggenggam tangan Erine dan mengayunkan tangannya sebagai tanda persetujuan.

Jogja, Jum'at 12 Februari
16.25

Sudah hampir dua puluh menit mereka menempuh perjalanan untuk ke gedung yang sudah di janjikan. Akhirnya mereka telah sampai pada gedung itu.

"Ini?"
Tanya Oline.

"Gue gatau, tapi ini kayak gedung yang udah ga kepake gitu ga si? Beneran ini?"

"Loh? Kok lo malah balik nanya."

"Ihh, gue gatau Lin. Udah yu pulang aja, gue takut."

"Jangan. Udah sampe sini, kalau lo pulang. Lo bakal digangguin lagi, sia-sia nanti. Udah, ayo ke rooftop. Lo janjian disitu kan?"

"Iya..."

Mereka berdua kemudian betjalan menuju Rooftop gedung tersebut. Sambil Oline berjalan di depan dan Erine membuntutinya. Seperti anak bebek yang membuntuti induknya.

"Rin, bisa ga si lo kalau jalan ga ngebuntutin gue. Ga usah narik-narik baju gue segala. Berat tau."

"Ah, iya maaf-maaf. Abis langkah lo panjang, bisa kehilangan jejak lo kalau gue ga narik baju lo."

7 menit telah berlalu kini mereka berada di rooftop, seperti selayaknya gedung tua. Dinding-dinding pembatas seperti telah digerogoti waktu, membuatnya hancur dan menyisakan tempat untuk angin lewat.

"Ih, gila, serem banget. Salah ngelangkah dikit bisa mati gue."

"Omongan lo Rin. Kalau ada setan lewat beneran kejadian lagi."

"Ya gue ga bermaksud, tapi lo liat aja. Temboknya udah gaada gitu."

"Iya-iya, yang terpenting ke mana orang itu? Orang itu ga ngasih tau waktu ketemuannya?

"Engga."

"Bego ya tu orang. Lo nya juga bego, ga nanya dulu."

"Gue keburu kesel tau ga!"

"Kalian udah nunggu lama? Hai Oline, Erine."
Suara langkah kaki yang dibarengi oleh suara mulut, mulai mendekati mereka berdua.

"Reine?!"
Ucapan spontan Oline karna keterkejutannya.

"Kan. Bener dugaan gue, banyak alesan itu orang. Mau dapetin Oline aja make beginian segala. Cape banget gueeee, bajingan!!!" Batin Erine.

"Hai, Adella. Hai Rea."
Sapa Reine kembali.

"Adella? Rea? Sejak kapan?"
Tanya Oline dan Erine.

"Sejak tadi."
Jawab Adella.

"Mau apa kalian nyuruh Erine ngebawa gue?"

Langkah kaki Erine dan Oline berbunyi menjauhi Reine. Jauh, sangat jauh. Tubuh mereka bergetar tak karuan, kala dua orang bertubuh tinggi dan besar hadir dihadapan mereka.
Mereka tak bergeming. Mulut mereka gemetaran. Tak dapat dijelaskan, rasanya seperti khayalan mereka. Tak habis pikir, tak mungkin, tak seharusnya juga. Apa? Ini apa? Apa maksud semua ini?

"Sudahi semua ini ya Keitherine Shiarian."

Kenapa... siapa... ada apa... semua ini apa?

"Papah..?"

"Ayah?"

Mereka berdua mulai memberanikan membuka mulutnya walau terus gemetaran.

"Lepas!! Lepas pahh."
Ayah Keitherine bergerak menuju ujung gedung tempat Erine berada, dan menggenggam keras tangan anak kesayangannya itu.

"Siapa yang nyuruh kamu kayak gini? Apa papah pernah ngajarin kamu buat gini?"

"Reine! Dia. Dia pah. Aku juga gaakan gini kalau bukan karna dia."

"Reine? Siapa Reine?"

"Orang yang di belakang papah! Orang dengan baju merah dan pita putih di rambutnya."

"Erine sudah, jangan terlalu banyak berkhayal. Kamu juga, apa maksud kamu mendekati anak saya? Siapa yang memberi kamu izin untuk berada di samping anak saya?"
Kini ayah Erine mulai mendekati Oline. Tubuh Oline semakin gemetar, Oline mulai melangkah ke belakang kembali. Mengambil posisi dan jarak aman dari Ayah Erine.

"Apa? Ada apa dengan saya? Apa yang berkhayal? Anakmu hanya mengikuti apa kata Reine." Erine tak menjawab, Oline lah yang menjawab pertanyaannya.

'Bughh'
Keras, keras sekali. Pukulan yang dilancarkan pada muka Oline yang pukulannya kepunyaan Ayah Erine, Geardinan Shiraian Lenggara.

Kini tubuh Oline berada di lantai, akibat kerasnya pukulan yang diberikan. Gusinya mulai berdarah, tak deras darahnya. Namun jelas rasanya.

"PAH! STOP PAH. INI BUKAN SALAH OLINE."

"Apa maksud kamu malah bertanya kenapa? Bukankah sudah jelas dengan apa yang saya bicarakan. Saya belum oernah mengizinkan kamu untuk mendekati anak saya. Dan ingat, siapapun ayahmu tidak ada hubungannya dengan anak saya."
Ayah Erine mulai mengangkat kerah Oline.

"PAH STOP!"

"BRUGGGG!"
Hujan tiba-tiba turun, bersamaan dengan Erine yang tiba-tiba betlutut di lantai.

"Papah... gila?"

"Sudah lah Erine, tidak usah pedulikan anak itu lagi. Ayo pulang dengan papa."

'Plak'
Erine melontarkan tamparan yang sangat keras pada ayahnya. Tak terasa, tangannya lah yang justru ikut berdarah karena tamparan keras itu. Pipi ayahnya sekeras hatinya.

"PAPAH GILA? APA SALAH OLINE SAMPE PAPAH KAYAK GITU?"

"BERKACA ERINE! PAPAH BELIKAN BERPULUH-PULUH KACA TAPI KAMU GA PERNAH SADAR?!"


?????????????????????

-maaf ga bisa banyak-banyak, mimin lagi sibuk.'

No One Here? (Orine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang