🌻 17 🌻

223 27 5
                                    

Junghwan duduk seorang diri di ruangan rumah sakit itu, di atas ranjangnya yang terasa lebih keras dari biasanya. Dia memandang keluar jendela, menatap langit biru yang cerah, seolah-olah mencari jawaban di antara awan-awan putih yang berarak pelan. Hari itu begitu indah di luar, namun tatapan Junghwan lesu dan kosong, tanpa semangat yang selalu menemaninya selama ini. Matahari yang bersinar terang tidak mampu menembus kegelapan yang menyelimuti hatinya.

Pikirannya melayang kembali ke percakapan yang ia lakukan dengan dokter kemarin. Dokter itu, dengan suara tenang namun tegas, memberitahukan bahwa ia mengidap anemia aplastik, sebuah penyakit serius yang mempengaruhi sumsum tulangnya. Penjelasan itu mengalir di benaknya seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung usai. Penyakit ini yang menjadi penyebab kakinya sering kali terasa lemas dan sulit dikendalikan dalam beberapa bulan terakhir. Junghwan teringat bagaimana ia sering mengabaikan gejala-gejala tersebut, menganggapnya hanya sebagai rasa pegal biasa akibat latihan lari yang intens.

Junghwan menghela napas panjang, merasa terperangkap dalam tubuhnya sendiri. Ia ingat betapa bebasnya ia merasa saat berlari, angin yang menerpa wajahnya, dan suara sepatunya yang beradu dengan tanah. Lari bukan hanya olahraga baginya, tetapi pelarian dari kenyataan, sebuah kebebasan yang kini terasa jauh di luar jangkauannya. Kini, ia merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar, sayap-sayapnya dipotong, tidak mampu terbang bebas.

Ia memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Kehilangan kemampuan untuk berlari, bagi Junghwan, sama saja dengan kehilangan jiwanya. Semua harapan, impian, dan tujuan hidupnya kini terasa hampa. Ia merindukan suara tepuk tangan penonton di stadion, aroma rumput hijau, dan sensasi adrenalin yang mengalir di nadinya setiap kali ia mencapai garis finish.

Bayangan Dohoon muncul di benaknya. Sosok yang selalu ada di sisinya, yang selalu memberi semangat meski kadang dengan cara yang menjengkelkan. Dohoon, dengan senyum lebarnya dan energi positif yang tak pernah habis. Pikirannya melayang pada momen-momen mereka bersama, tawa dan canda yang mereka bagi. Dohoon pasti akan datang menjenguknya, mencoba menghibur dengan caranya yang unik. Tapi, apakah Dohoon mengerti betapa hancurnya perasaan Junghwan sekarang?

Tuan Shin, ayah Junghwan, memasuki ruangan rumah sakit dengan langkah berat. Ia masih mengenakan setelan kerja, dasinya sedikit kendur dan raut wajahnya terlihat lelah. Aroma khas kantor dan parfum mahal yang selalu dipakainya seolah menjadi pengingat betapa sibuknya pria itu. Junghwan hanya melirik sekilas ke arah ayahnya, menunjukkan ketidaktertarikannya. Hubungan mereka memang telah lama renggang, tergerus oleh kesibukan ayahnya yang tak pernah luput dari pekerjaan.

"Bagaimana keadaanmu, Junghwan?" tanya Tuan Shin dengan suara yang terdengar kaku, seperti seseorang yang berbicara dengan orang asing.

"Baik," jawab Junghwan singkat, nyaris tanpa emosi, sambil tetap menatap ke luar jendela. Jawaban yang seadanya itu seakan menjadi tembok pembatas yang tak kasat mata di antara mereka.

Tuan Shin menghela napas, mencoba menyembunyikan rasa gusarnya. Ia tahu bahwa hubungannya dengan putranya telah lama merenggang, dan situasi ini membuatnya merasa semakin tak berdaya.

Pikiran Tuan Shin melayang kembali ke malam itu, saat ia menemukan Junghwan terduduk lemas di lantai dapur, tidak bisa berdiri karena gejala penyakitnya yang kambuh. Malam yang seharusnya ia habiskan dengan menyelesaikan dokumen-dokumen penting di ruang kerjanya berakhir dengan kekhawatiran mendalam akan kondisi putranya. Tanpa pikir panjang, ia segera membawa Junghwan ke rumah sakit untuk diperiksa, sebuah tindakan yang mungkin tidak akan ia lakukan jika ia tidak menyadari betapa seriusnya kondisi Junghwan.

"Dokter bilang, kau perlu banyak istirahat dan perawatan," kata Tuan Shin, mencoba memecah kebisuan yang menyelimuti ruangan itu.

Junghwan hanya mengangguk pelan, masih enggan untuk memulai percakapan yang lebih mendalam. Ia merasa jengkel, tetapi juga ada sedikit perasaan terima kasih yang tertahan di dalam hatinya. Meskipun hubungannya dengan ayahnya tidak baik, ia tahu bahwa tindakan ayahnya malam itu telah menyelamatkannya.

[✓] BUNGA MATAHARI 🌻| DOSHIN ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang