Prolog

651 64 0
                                    



Dua puluh empat jam yang lalu, Inka sedang mengupas apel yang baru dibelinya di Fresh Market. Wajahnya riang, sembari menyenandungkan Fix You, lagu favoritnya. Dari meja dapur, dia mendengar ponselnya berdering. Inka tak menghiraukan suara ponselnya dan memilih menyelesaikan pekerjaannya.

Paling hanya Sandra yang mengajaknya untuk makan malam, pikir Inka. Hanya saja, nada panggilan masuk di ponselnya itu terus berbunyi. Perasaannya mengatakan, Sandra tidak perlu repot-repot menghubunginya, dia hanya perlu memencet bel apartemennya untuk mengajaknya pergi. Inka menghentikan aktivitasnya, dia menaruh apel yang baru separuh terkupas dan berjalan menuju kamar. Siapa pun yang meneleponnya pasti bukan Sandra.

Sebaris nomor tidak dikenal terlihat di layar yang kini ada dalam genggamannya. Biasanya Inka malas mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Namun dia mengernyitkan kening, melihat delapan kali panggilan tidak terjawab. Ponselnya kembali berbunyi, rasa penasaran membuatnya memberanikan diri untuk menjawab panggilan tersebut.

Inka berdeham, semoga bukan orang iseng. Suara berat laki-laki menyapanya. Inka bahkan belum menjawab salam, pria itu langsung memperkenalkan dirinya. "Saya Banyu, adik mama kamu," ucapnya tanpa basa-basi.

Banyu? Inka mencoba mengingat-ingat. Kalau tidak salah, Banyu adalah adik mamanya yang paling kecil. Tidak ada sapaan sekadar basa-basi saling menanyakan kabar, mengingat sudah belasan tahun mereka tidak pernah berbicara.

"Inka? Kamu dengar suara saya?" tanya suara di seberang sana.

Inka tidak menjawab. Jantungnya berdetak cepat, dia tiba-tiba saja menjadi gugup menghadapi situasi ini. Matikan teleponnya! Sesuatu di kepalanya menyuruh Inka untuk memutuskan pembicaraan.

Namun, lelaki di seberang sana tetap berbicara. Tetap memberitahukan setiap detail yang sedang terjadi tanpa peduli atau sedikit pun memikirkan bagaimana reaksi lawan bicaranya.

"Apakah kamu bisa menghadiri pemakamannya?"

Perempuan itu telah pergi!

Selamanya....

Inka membisu, sama sekali tidak menanggapi kata-kata sang penelepon sampai sambungan itu akhirnya terputus.

Matanya berkabut dan terasa panas, Inka berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia tidak seharusnya menangis, kan? Namun, di saat bersamaan ada suara-suara yang berbisik ... kesempatan yang kamu miliki telah hilang.

Tubuh Inka bergetar hebat. Rindu yang selama ini diselimutinya dengan kebencian meluruh bersama isaknya. Dia tidak bisa lagi berpura-pura.

Kenapa perempuan itu harus mati dengan cepat? Selama ini dia bertahan mengumpulkan keberanian. Alasan apa lagi yang bisa dia gunakan, jika tersangka utamanya sudah lebih dulu pergi?

Jemarinya melempar mug di atas meja bar hingga pecah berkeping-keping. Amarah dan keputusasaan memenuhi jiwanya. Inka membungkuk dan mengambil pecahan beling di dekat tempatnya berdiri. Senyum frustrasi tergambar jelas di wajahnya. Tanpa keraguan, Inka mengiris urat nadinya dan menyaksikan darah segar mengalir membasahi tangannya.

SCARS (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang