SATU

413 46 1
                                    


"Savyra ... Savyra...."

Inka tengah berjalan di tengah padang rumput yang gersang dan mendengar namanya berkali-kali dipanggil. Suara-suara itu timbul-tenggelam, membuatnya memejamkan mata untuk mencari dari mana sumber suara itu berasal.

Saat matanya terbuka ... langit berubah menjadi hitam pekat, suara petir bersahutan diikuti oleh kilatan-kilatan cahaya menyeramkan. Tubuhnya bergetar ketakutan, dia tidak tahu ada di mana. Inka berlari dan terus berlari hingga melihat pohon besar yang bisa dia jadikan tempat bernaung. Dadanya semakin sesak, tapi dia tahu, dia tidak boleh berhenti. Semakin Inka merasa tujuannya semakin dekat, pohon itu justru semakin jauh dan menghilang.

"Savyra ... Savyra ... anak Mama."

Inka memicingkan matanya, menangkap bayangan samar seseorang yang sangat dia rindukan. "Mama ... Mama...!" teriak Inka sambil berlari. Inka terus mengejar bayangan itu. "Tunggu, Ma. Tunggu ... jangan pergi!" Air matanya berjatuhan tepat saat hujan turun membasahi sekujur tubuhnya. Bayangan itu semakin hilang, semakin kabur dari pandangannya.

Di atas ranjang, tubuh Inka bergerak gelisah. Dia meremas selimut yang menutup tubuhnya dan berusaha membuka mata.

Ini cuma mimpi. Hanya mimpi buruk, ucap Inka pada dirinya sendiri. Perlahan kesadaran Inka kembali, dia langsung memaksakan untuk bangun dan bersandar pada kepala ranjang.

Napasnya masih terengah, keringat membasahi tubuhnya. Inka menunduk dan melirik jam dinding yang jarum pendeknya berada di angka empat. Inka menghela napas, lelah dengan mimpi yang terus berulang.

Inka menggeser selimutnya, dan berjalan menuju lemari untuk mengganti kaos yang basah dan mencuci wajahnya. Percuma dia mencoba untuk kembali tidur, Inka beranjak menuju dapur dan mengambil air mineral di lemari pendingin.

Dia menatap jendela apartemennya yang tidak tertutup gorden, langit di luar sana masih gelap. Inka meringis, memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk menunggu pagi tiba. Seharian kemarin dia sibuk membereskan barang-barang yang akan dikirimkannya ke Jakarta, biasanya jika kelelahan, dia akan tidur nyenyak tanpa terganggu.

Inka melipat tangannya di atas meja bar dan menjatuhkan kepalanya pasrah.

Little Inka, don't cry! Please, don't cry.

Inka menyanyikan kata-kata itu dengan senyum hampa dan mengembuskan napasnya. Dia mengingat-ingat apa saja yang harus diselesaikannya sebelum lusa kembali ke Jakarta. Kembali, bukan pulang, ucapnya hambar dalam hati.

***

Inka pernah membaca sebuah kalimat, yang dia lupa entah di mana membacanya, tapi dia ingat kalimat tersebut sampai sekarang. Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri. Inka setuju pada awalnya ... tapi setelah meresapi kalimat itu lagi, dia tahu musuhnya bukan dirinya sendiri! Tapi seseorang yang dia panggil Papa.

Inka mungkin menjadi satu-satunya orang yang menolak quote legendaris, "Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya." Cinta pertama? Inka mendengkus, papanya jauh dari kata layak untuk mendapatkan cintanya apalagi menjadi yang pertama.

Di dalam perjalanan menuju kantor, Inka terus mengingat-ingat kebaikan apa yang pernah dilakukan papanya, agar dia tidak berpikir kalau dia sudah mengambil jalan yang salah karena harus meninggalkan kehidupannya di sini.

Hong Kong, kota yang meriah, kota yang tidak pernah sepi dan Inka suka berada di sini karena dia tidak pernah merasa sendiri. Perlahan Inka menikmati kehidupannya yang bebas dari kekangan Byantara, bonusnya dia juga mendapatkan teman yang rasanya sama seperti keluarga. Jadi kenapa dia harus kembali? Separuh dirinya masih tidak terima dengan keputusan yang dia pilih.Inka memegang paper cup berisikan latte yang tadi dibelinya sebelum naik taksi. Mobil yang dia tumpangi berjalan lambat. Pandangannya menatap jauh ke luar jendela, dia mengembuskan napas.

Lelaki tua itu cukup royal membiayai hidupnya. Tapi, bukankah itu memang tugas seorang ayah? Kata hatinya masih menyangkal. Mungkin ayah orang lain begitu, namun di mata Byantara, Inka tak lebih dari sebuah aset.

Satu bulan lalu, Byantara menghubunginya dan bukan sekadar menanyakan kabar. Di sela-sela obrolan dingin mereka, Byantara mengatakan maksudnya. Lelaki itu meminta Inka untuk pulang setelah enam tahun meninggalkan rumah. Kata Byantara, waktu yang dimiliki Inka untuk bersenang-senang sudah habis. Kini saatnya Inka membalas kebaikan Byantara.

Inka sempat berdebat, menolak ide-ide yang ditawarkan Byantara padanya. Sedari dulu, hubungan Inka dengan papanya memang seperti itu. Byantara hanya akan memanggilnya, jika membutuhkan. Bukan butuh, cepat Inka meralatnya, tapi lebih tepatnya memanfaatkan dirinya.

"Mau sampai kapan kamu memperkaya orang lain?" begitu cara Byantara memanasi Inka. "Lebih baik kamu pulang dan majukan perusahaan Papa. Pulang, ya? Papa siapkan tiketnya dan semua yang kamu butuhkan."

Ketika Inka menolak, maka rayuannya berganti. "Ka ... Papa nggak pernah minta tolong sama kamu. Satu kali ini saja."

Papanya memang tidak pernah meminta tolong padanya! Tapi dia selalu punya cara untuk memaksakan kehendaknya. Inka masih berusaha menolak, sampai lelaki itu mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkan.

"Kamu pulang dulu. Kondisi jantung Papa memburuk, sudah satu tahun ini Papa bolak-balik Singapur. Papa harus operasi besar," kata Byantara serius.

Inka diam, dia memang membenci pria yang tengah menjadi lawan bicaranya. Tapi tidak pernah sekali pun dia membayangkan kalau kondisi kesehatan papanya memburuk.

"Papa mau apa, sih?" Akhirnya kesabaran Inka pudar juga.

"Papa mau kamu gantikan posisi papa di BigBevs," jawab Byantara lugas. "Kamu boleh belajar dulu, selama yang kamu butuhkan."

Inka menarik napas panjang, mulai paham dengan kondisi yang terjadi. Papanya sedang berada dalam masa kritis dan tetap saja BigBevs menjadi prioritasnya. Kalau sekadar untuk pulang, Inka tidak keberatan ... tapi bekerja untuk BigBevs? Inka menggeleng.

"Alia, kan, ada?" Inka mengusulkan nama adik tirinya.

"Alia masih kuliah, Ka. Masih kecil dia."

"Aku nggak bisa, Pa."

"Background pendidikan dan pengalaman kamu selama ini ... itu semua cukup untuk modal kamu di BigBevs, Savyra."

Inka menarik napas, "Aku punya kehidupan di sini, Pa...."

"Sampai lupa pulang ya, Ka? Papa percaya kok, kamu happy di sana. Tapi Papa butuh kamu. Untuk sementara ini papa mau fokus untuk sehat dulu."

Inka masih diam, semua yang dibicarakan Byantara tidak ada yang bisa dia mengerti. Segalanya begitu absurd untuk dipahami.

"Kamu tahu tentang kepergian Nadine? Nggak mau lihat makam mama kamu?" tiba-tiba saja Byantara mengubah topik pembicaraan mereka.

Inka menarik napas panjang. Bukan hanya tahu ... dia bahkan hampir menyusul kepergian Nadine. "Kenapa harus selalu mengusik Mama?"

"Ka ... maaf—" Byantara mengerti. "Kamu pulang dan kita bicara baik-baik di rumah."

"Aku nggak mau pulang ke rumah," jawab Inka cepat.

"Papa siapkan apartemen. Deal?"

Inka refleks menggeleng. Siapa yang bilang dia mau pulang, sih?

"Papa sudah tua, Ka. Papa minta kamu pulang."

Inka tersenyum getir saat tangan kirinya yang ditutupi gelang-gelang berwarna-warni memperlihatkan garis-garis tipis. Inka hanya bisa menyembunyikannya karena dia tidak akan bisa menghapus luka-luka itu. Bekas sayatan itu sama seperti setiap kejadian buruk yang dia dapatkan. Meski sudah berlalu, semuanya menempel lekat.

***

SCARS (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang