EMPAT

217 42 2
                                    


Happy reading...


***

Selama hampir seminggu Bintang mencari dan dia mendapat kabar dari Ronald, salah seorang teman yang kebetulan juga mengenal Lana. Setelah mengetahui alamat kantor baru Lana di Jakarta. Sore itu dia memutuskan untuk mendatanginya. Semoga belum terlambat, harapnya cemas.

Tiga puluh menit dari jadwal kepulangan Lana, Bintang sudah menunggu di parkiran. Matanya mengawasi pintu lobi, memperhatikan dengan saksama orang-orang yang lalu-lalang di sana. Bintang terperanjat sesaat melihat Lana dengan perut besarnya yang baru saja keluar dan berjalan menuju parkiran.

Hari itu Lana memakai dress longgar selutut, dan kaki jenjangnya yang dulu suka mengenakan high heels kini hanya dibungkus flat shoes sederhana. Bintang turun dari mobil, mengikuti Lana dan masih memberi jarak. Berapa bulan kandungan Lana? Perempuan atau laki-laki, anak yang dikandungnya?

"Lanavera...." Sekejap, suara Bintang menghentikan langkah Lana.

Lana berbalik dan refleks memegang perut besarnya, refleks menggeleng tidak percaya.

"Dengan perut sebesar itu, kamu masih bawa mobil sendiri?" tanyanya takjub.

Lana mundur, wajahnya terlihat kaget dan juga bingung. Tanpa menjawab pertanyaan Bintang, perempuan itu mempercepat langkahnya untuk sampai ke tempat mobilnya terparkir.

Mereka harus berbicara ... itu yang ingin Bintang lakukan.

"Lepas...," suara Lana bergetar, saat Bintang mencekal lengannya.

Bintang melepasnya. "Kita harus bicara. Ini tentang bayi dalam kandungan kamu. Tolong kasih aku kesempatan!" Dia menjelaskan tujuan kedatangannya.

"Kesempatan apa?" Kobaran emosi terpancar jelas di mata Lana. "Kamu brengsek!"

"Iya, aku tahu!" Setelah menolak kehamilan Lana dan kini dia datang seenaknya. Apa lagi yang pantas diucapkan oleh Lana kalau bukan kata makian. "Aku ingin bertanggung jawab," kata Bintang sungguh-sungguh.

"Dengan cara apa?"

"Aku akan membiayai kelahiran bayi dalam kandungan kamu," tunjuknya pada perut besar Lana. "Aku juga bersedia membiayai kehidupannya ... dan bekerja sama untuk membesarkannya."

Lana mengernyitkan keningnya, tidak habis pikir dengan kata-kata yang diucapkan Bintang. "Kamu pikir aku nggak mampu?" Amarah mulai menguasainya.

Harapannya terlalu tinggi, ketika dia berpikir Bintang mencarinya untuk menikahinya. Tapi semuanya jauh dari apa yang dia bayangkan. Bintang tetap saja brengsek, dan tidak akan berubah. "Demi Tuhan ... sepeser pun aku nggak butuh uang kamu untuk membiayai anak aku." Lana menunjuk wajah Bintang tanpa ragu-ragu. "Jangan pernah muncul di hadapan aku atau mencari anak ini."

Bintang masih mengejar Lana. "Aku benar-benar minta maaf," ucap Bintang sungguh-sungguh. Namun dari semua solusi yang ada dalam pikirannya. Hal yang tadi dia katakan adalah yang paling bisa dia lakukan.

Kesalahan yang dilakukannya memang sulit untuk dimaafkan. Hanya saja, Bintang tidak mau menambah keadaan semakin rumit. Pernikahan tanpa cinta bukan solusi untuk mereka. Bukankah segalanya hanya akan menjadi lebih buruk?

Lana menggeleng, masih tetap dengan pendiriannya. Selamanya dia tidak akan pernah memaafkan Bintang. "Sampai mati pun ... selamanya, aku nggak akan pernah cerita tentang kamu pada anak ini!"

Bintang tertegun mendengar ucapan Lana. Matanya mengawasi ketika melihat Lana masuk ke mobilnya. Dia menghela napas, memahami bagaimana perasaan Lana saat ini. Lana berhak marah dan membencinya. Tapi bukan berarti menyurutkan langkah Bintang untuk mendapat penyelesaian dari masalah mereka.

Bintang menyalakan mobilnya, dan mengikuti mobil Lana sambil tetap menjaga jarak. Alisnya bertaut, perasaannya berubah cemas ketika mobil yang dikendarai Lana melaju semakin kencang.

Dalam hitungan detik, terdengar dentuman keras dan suara ban yang beradu dengan aspal. Semuanya terjadi begitu cepat. Napas Bintang tertahan. Dari belakang Bintang menyaksikan bagaimana mobil Lana berguling karena menabrak pembatas jalan.

Jemarinya mencengkeram setir, Bintang menarik napas dalam-dalam demi mengisi paru-parunya yang terasa sesak. Potongan-potongan kecelakaan itu masih runut terekam jelas di ingatannya.

Kalau saja waktu bisa diputar! Bintang metertawai dirinya sendiri.

Bintang kembali ke dalam karena hujan turun kembali. Di sofa, beberapa berkas yang tadi dibacanya masih berserakan. Dia pun mengumpulkan berkas-berkas itu menjadi satu tumpukan dan merapikan kabel laptop yang tersambung ke stop kontak.

Kehidupannya saat ini bergerak statis setiap harinya. Adakalanya perasaan jenuh itu hadir, namun dia berusaha mengalihkan. Karena sampai sekarang masih ada pertanyaan yang belum bisa terjawab olehnya, sampai kapan dia bisa menyimpan rahasia ini?

***

SCARS (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang