Part. 5

11 5 1
                                    

Asena menuruni tangga,  lengkap dengan seragam sekolah. Di meja makan sudah ada kedua orang tua serta kakaknya yang tumben kali ini ikut sarapan, karna biasanya laki-laki yang berbeda 3 tahun diatasnya itu jarang mengikuti sarapan bersama, ya tergantung jadwal mata kuliah.

Asena duduk dikursi meminum susu yang sudah disiapkan. Setelah habis ia memasukan bekalnya kedalam tas.

"Bang," 

Ertan menoleh. "Aku berangkat bareng abang ya?"

Cowok itu menggeleng. "Gue jemput temen."

Asena mendengus, memilih berpamitan langsung pada orang tuanya dengan mencium tangan ayah dan bunda. "Aku berangkat ya."

"Gak mau berangkat bareng ayah aja?" Ayahnya menawarkan, yang ia jawab dengan gelengan. "Enggak ah, kan sama tempat kerja ayah beda arah."

"Ya gak papa."

Asena tetap menggeleng. "Gak deh sena naik angkot aja."

"Yaudah hati-hati."

"Hati-hati," Ibu ikut memperingati setelah Asena selesai mencium tangannya

"Iya."

Lima belas menit kemudian Asena sudah sampai di sekolah, ketika memasuki kelas, ternyata sudah banyak teman-temannya yang tengah mengobrol atau mengerjakan tugas. Ia berjalan ke arah kursi kosong di pojok bagian belakang.

Hari ini adalah hari pertamanya masuk setelah libur panjang, seharusnya ini hari ketiganya setelah kembali masuk tapi karna dua hari kebelakang ia sakit jadilah ia tak bisa masuk sekolah.

Sebenarnya ia tak terlalu bersemangat untuk bersekolah, alasannya hanya satu, tentu saja Karna kehadiran Arkan Fahrezi.

Sebagian anak-anak kelas sedang mengerubuni tiga meja, terlihat seperti tengah mengerjakan sesuatu, termasuk Diva dan Cindy yang mengerubuni meja Arkan.

Diva menegakan badannya ketika menyadari kedatangannya.  "Eh sini ngerjain tugas fisika, lo belum kan?"

"Beneran ada tugas?" Tanyanya.

Baru juga masuk

Diva meng-iyakan, "Dikit kok."

Bener bener si wela Asena menggerutu kesal pada guru fisika.

Ia akhirnya menghampiri Diva dengan buku dan bolpoin di tangannya. Tepat ketika ia hendak menulis Arkan berceletuk. "Eh jangan kebanyakan, keliatan banget kerja samanya,"

"Lah kan emang kerja sama ege," Adit, teman sebangkunya menyahut.

"Ya jangan kentara juga bego, lo liat ni yang nyontek sama gue udah kebanyakan."

"Kebanyakan gimana si lo, perasaan dari tadi segini." Cindy nampak tak mengerti dengan Arkan, yang sebelumnya tak pernah mempermasalahkan jumlah orang yang menyontek padanya.

Sedang Asena nampak sudah mengerti tanpa diberitahu jelas. rupanya keadaan mereka tak kunjung berubah, Diva juga mengerti kalimat pengusiran itu ditujukan untuk siapa.

Asena menepuk pelan pundak Diva, memberitahu ia tak apa. Dan berjalan kembali ketempat duduknya, memilih tak mengerjakan tugas. Tak peduli jika nanti ia dihukum berdiri di lapangan atau membersihkan WC.

"Lo belum berubah juga ya?" Diva tak habis pikir.

Arkan yang tengah memperhatikan teman-temannya menulis mendongak, Seraya terkekeh pelan ia menjawab. "Gue bukan spiderman Divaa,"

"Arkan, serius deh ini si Sena doang  anjir." Arkan memilih mengabaikan dan kembali melihat teman-temannya yang tengah sibuk menulis.

Diva melihat Asena di belakang yang ternyata tengah memperhatikan mereka, ia meringis tak enak hati, Asena menggeleng seraya berucap tanpa suara "Gak papa,"

****

"Dek, tolong panggilin abang dikamarnya dong." Ucap Ayahnya yang tengah kesusahan mengangkat pot ukuran besar.

Sore itu, ditemani minuman dan makanan ringan, Asena memperhatikan orang tuanya yang tengah mengurus tanaman, dalam pot.

"Siap, " Asena lantas berjalan menuju kamar Kakaknya yang terletak bersebelahan dengan kamarnya.

"Bang, dipanggilin ayah di belakang rumah." Asena berucap dibalik pintu, tanpa mau repot-repot masuk.

Ertan yang tengah berkutat dengan laptopnya menoleh kearah pintu. "Kenapa?"

"Suruh bantuin mindahin pot katanya,"

Ertan mendengus, terpaksa meninggalkan tugasnya dan berjalan menuju pintu, "Terus tadi lo ngapain? Ngeliatin?"

"Yaa ... gak gitu," Asena kembali kebawah diikuti kakaknya dibelakang.

"Ya terus lo disana ngapain kalo cuma ngeliatin? Bantuin kek udah tau ayah sama bunda kesusahan punya inisiatif sendiri gak usah nunggu disuruh," Omelnya, mulai lagi.

Asena mendengus kesal. "Yauda si,"

Ertan mengetuk kepalanya dengan kedua jari seraya berkata pelan. "Gak guna,"

Asena berhenti melangkah membiarkan Ertan berjalan mendahului, menatap punggung kakaknya dengan raut muak.

Asena tau dari dulu kakak laki-lakinya itu memang kerap menunjukkan ketidaksukaannya, Asena juga tak tau salahnya dimana. Sikap Ertan tak pernah ramah terhadapnya, jadi jangankan akrab layaknya adek kakak lain yang gemar bercanda, mereka bahkan ketika tak sengaja terlibat interaksi pun setiap kalimat yang keluar dari mulut Ertan tak pernah santai --selalu memancing emosi.

Malamnya setelah ia kembali dari minimarket terdekat ibunya yang tengah menonton tv memanggil.

"Kenapa bun?"

"Itu tadi sore ada paket kamu dateng," Wanita paruh baya itu menunjuk nakas dekat tv dengan dagunya, sedang matanya masih nampak fokus menonton sinetron di televisi.

Asena mengambil box berukuran sedang itu, membukanya lantas tersenyum mendapati barangnya kali ini sesuai ekspetasi. 

"Beli apa si emang?" Bunda bertanya setelah sinetron yang ditontonnya iklan.

"Baju sama celana, setelan gitu, digambarnya lucu soalnya." Asena kembali memasukan baranya.

Ertan yang dari tadi hanya menyimak pun berbicara. "Gak usah segala dibeli lo pikir lo anak konglomerat, udah boros, belajar nabung kek dari sekarang, jangan apa apa dibeli apalagi masih pake uang orang tua,"

Asena baru sadar dari tadi di single sofa sudah ada Ertan. "Ya emang kenapa? Lo gak mampu kaya gue?"

Ertan nampak tak suka mendengar jawaban adiknya. "Maksud lo?"

Asena tak menjawab hanya mendengus dan berjalan meninggalkan mereka. Ertan hendak kembali membuka mulut tapi Ibunya mencegah.

"Bang udah gak papa,"

Ertan mendengus. "Bunda juga sama, jangan terlalu dimanjain anaknya, mau jadi apa nanti, uang jajannya dikurangin, lama lama ngelunjak kalo kaya gitu terus."

■■■

4mei2021
14Juli2024

WITHOUT MISTAKES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang