RAIN'S POV
Selama satu minggu ini, Aurora begitu intens membantuku untuk mendekorasi kafe dan juga ruang kerjaku. Jujur saja aku sangat kagum dengan semua hiasan dan ornamen yang dipilih olehnya. Ini benar-benar luar biasa. Bisa aku pastikan, setelah kafe ini dibuka kembali, pasti aku bisa mendapatkan pelanggan lebih banyak lagi.
"Ra, lihat sini" ujarku sembari mengambil gambar Aurora menggunakan ponsel milikku ketika dia menoleh kearahku.
"Iihhh aku belum siap" Aurora tampak mengerucutkan bibirnya dan itu benar-benar terlihat menggemaskan.
Melihat wajahnya yang lucu dan menggemaskan seperti ini, apa orang-orang akan percaya kalau dia sudah memasuki usia 32 tahun. Aku saja tidak percaya dengan angka 32 itu. Bahkan dia seperti terlihat lebih muda dariku. Astaga, ini berarti wajahku benar-benar boros.
Kini aku mencetak beberapa foto yang sudah aku pilih dari galeri ponselku. Foto-foto yang berisi diriku, Aurora dan foto kami bersama.
Aku berniat memajang semua foto itu di ruang kerjaku dan Aurora tidak masalah dengan itu semua.
"Ini bagus Ra, boleh kan aku tempel disana?"
Aurora memandangi foto dirinya dan menimang-nimang sejenak sampai akhirnya dia menyetujui permintaanku.
Tentu saja aku melakukan ini karena aku ingin selalu melihatnya.
Jujur saja aku benar-benar bahagia dengan ini semua. Pertama, karena kini aku bisa melihat Aurora secara nyata, bukan dari foto yang aku ambil belasan tahun lalu. Kedua, aku bahkan dengan bebas mengambil gambarnya tanpa dia harus curiga denganku. Ketiga, tidak ada, hanya itu saja.
"Kapan rencananya kafe ini dibuka kembali?" tanya Aurora padaku
"Maybe minggu depan" ujarku ragu
"Maybe?"
"Okay fix minggu depan, tapi Pak Albert dan Bu Joanna berhalangan hadir. Jadi aku gak bisa kenalin mereka ke kamu"
"Sepertinya aku juga gak bisa datang deh" mendengar itu, seketika perasaanku yang sejak tadi riang gembira menjadi sedih tanpa alasan.
"Kenapa? Padahal kamu tamu spesial aku"
"Aku harus ke Jakarta, Rain. Ada kerjaan yang gak bisa aku kerjain dari sini"
Mendengar itu, aku merasa patah hati. Padahal aku bukan ditolak karena menyatakan perasaanku, tapi rasanya benar-benar menyakitkan. Bagaimana kalau aku menyatakan perasaanku dan Aurora menolakku, bisa-bisa aku kembali berniat untuk mengakhiri hidupku.
"Amit-amit" ujarku tanpa sadar sembari menggelengkan kepalaku
"Kamu kenapa? Apa yang amit-amit?"
"Hah? Apa?"
"Kamu kenapa?"
"Eh... aku... hmm"
"Rain"
"Aku... aku laper Ra, kita cari makan yuk? Aku yang traktir deh"
Aku mengajak Aurora untuk makan di sebuah warung makan dekat pantai. Menu di warung makan ini benar-benar enak dan terjangkau.
"Enak juga ya kalau jadiin kamu pacar, gak harus makan mewah" ucapku tanpa sadar.
"Kata siapa? Memangnya kamu tahu selama ini aku dan mantan-mantanku makan dimana kalau lagi pacaran?"
"Kamu gak bisa makan ditempat seperti ini, Ra?" tanyaku dengan cepat
Bisa-bisanya aku mengajak Aurora yang super kaya ini untuk makan di pinggiran seperti ini. Sudah pasti dia tidak suka dengan hal seperti ini.
"Kita ke restoran sana aja, tempatnya lebih nyaman" aku menarik tangan Aurora namun dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya berdiri
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me In
RandomSatu... dua... tiga... Hanya dalam hitungan tiga detik, dia mampu membiusku dengan auranya yang begitu mempesona. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali tidak aku kenal dan tetap mengharapkannya meskipun pertemuan itu sudah...