RAIN'S POV
"Pak Niko dan Bu Amira gak ada hubungan darah dengan kamu."
"Aku tahu..." jawabku ringan.
Jujur saja aku terkejut mendengar pengakuan Aurora. Aku tidak pernah menyangka dia akan melakukan tes DNA ulang tanpa sepengetahuanku.
Namun aku tidak terlalu terkejut, karena aku juga sudah tahu kebenarannya. Selain itu, aku juga tahu siapa pelaku utama dari drama ini.
Kalau kalian bertanya apa aku bersedih? Tentu saja aku bersedih. Aku baru saja merasakan bagaimana rasanya memiliki orang tua meskipun ternyata itu hanya sandiwara dan kebohongan semata. Tapi tetap saja, selama beberapa minggu ini aku sempat merasakan memiliki seseorang yang selalu menyambutku di rumah.
Flashback on
Saat sedang bersantai di sofa, tanpa sengaja aku melihat sebuah dompet terselip di antara bantal. Aku meraihnya dan mengernyitkan alis.
"Dompet siapa nih?" Gumamku. Apa ini dompet milik Ibu.
Aku pun menyimpan dompet itu dan berniat untuk mengembalikannya setelah mereka pulang nanti. Siang tadi, mereka berpamitan padaku untuk pergi ke suatu tempat. Alasannya sih ingin pacaran. Aku tidak masalah dengan alasan itu, mungkin mereka memang selalu menghabiskan waktu berdua selama ini.
Aku mengambil dompet itu dan menyimpannya di kamarku.
Hingga dua hari berlalu, aku lupa untuk mengembalikan dompet itu, namun sepertinya Ibu tidak merasa seperti kehilangan sesuatu. Aku pun penasaran, apa jangan-jangan dompet itu milik orang lain.
Aku membuka dompet itu dan melihat sebuah kartu identitas bernama Nia, namun fotonya adalah foto Ibu. Jadi siapa dia sebenarnya, dia mengaku bernama Amira tapi identitasnya disini bernama Nia.
Saat pikiranku sedang berkecamuk dengan nama asli Ibu, mataku menangkap sebuah tulisan di kartu identitas itu. Yaitu golongan darah, dimana golongan darahnya tidak sama sepertiku.
Aku mencoba untuk berpikir positif, mungkin nama Nia itu adalah nama depannya dan catatan sipil melakukan kekeliruan sehingga nama Amira tidak tertulis disana. Untuk golongan darah, mungkin golongan darahku sama dengan Bapak.
Meskipun aku mencoba untuk berpikir positif, tetap saja aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Aku pun memutuskan untuk menyelidiki ini besok.
Hari ini, seperti yang sudah aku rencanakan, waktunya untuk menyelidiki kebenaran yang terus menghantui pikiranku. Seperti biasa, Ibu sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk kami. Bapak duduk di meja makan, membolak-balik halaman koran. Kami makan bersama, dan aku mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Rain..." panggil Ibu, suaranya terdengar lembut saat aku sedang menuangkan air minum.
"Ya, Bu?"
"Ibu penasaran soal kamu dan Aurora. Kalian benar-benar pacaran?" tanyanya sambil melirik ke arah Bapak, nadanya sedikit ragu. "Bukan apa-apa, nak. Ibu cuma lihat Aurora sepertinya kurang nyaman dengan kami. Kami merasa Aurora tidak begitu menyukai keberadaan..."
"Aurora gak begitu kok, Bu," sahutku cepat. "Mungkin kalian belum terlalu dekat, makanya Aurora masih sedikit canggung."
Aku meneguk air dengan cepat. Seakan tidak mendapat respon yang memuaskan dariku, Ibu dan Bapak tetap saja membahas tentang Aurora.
"Apa kamu yakin Aurora benar-benar cinta sama kamu?" kali ini giliran Bapak yang angkat bicara. "Bapak cuma khawatir, jangan sampai kamu terluka. Dia punya segalanya, Rain. Apa kamu gak takut kalau suatu saat dia nyakitin kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me In
RandomSatu... dua... tiga... Hanya dalam hitungan tiga detik, dia mampu membiusku dengan auranya yang begitu mempesona. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali tidak aku kenal dan tetap mengharapkannya meskipun pertemuan itu sudah...