RAIN'S POV
Aku benar-benar merasa lega sekarang. Tak ada lagi kebohongan atau rahasia di antara kami. Hubunganku dengan Aurora semakin erat, dan sepertinya aku sudah mendapat restu dari kedua orang tuanya. Rasanya seperti beban besar telah terangkat.
Seperti pagi ini, Om Albert tiba-tiba menghubungiku dan memintaku untuk menemuinya di villa mereka yang sangat megah. Di sinilah aku sekarang, berdiri di depan villa yang super mewah. Jujur saja, aku tidak mengerti mengapa mereka masih memilih menginap di hotel kalau punya tempat sebagus ini. Mungkin itulah cara pikir orang super kaya—sesuatu yang sulit kupahami.
"Wazzzuuuppp, Rain Gerhana!" teriak Om Albert begitu melihatku datang. Aku menepuk jidatku sendiri. Om Albert ini benar-benar lebih mirip remaja labil daripada seorang ayah. "Om tadi lihat burung di sana, tapi waktu Om panggil, dia nggak nyamperin," katanya sambil menunjuk ke arah pepohonan.
"Burungnya budek kali, Om," jawabku sambil mengangkat bahu, asal-asalan saja.
Om Albert langsung menatapku dengan wajah serius, "Om yakin banget, burungnya nggak budek, Rain! Seratus persen yakin!"
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit geli melihat keyakinannya. "Tapi burungnya noleh nggak, Om?" tanyaku, sambil menaikkan alisku.
Om Albert menggeleng pelan dengan wajah bingung. "Nggak, sih."
"Terus, kenapa nggak nyamperin?" tanyaku sambil pura-pura penasaran.
Om Albert terdiam sejenak, lalu menjawab dengan keyakinan sama, "Mungkin burungnya sibuk, Rain."
Jujur saja aku tidak mengerti dengan apa yang dia katakan. "Sibuk, Om?"
"Ya, sibuk jadi burung!" jawabnya dengan ekspresi datar yang membuatku tidak tahan lagi dan akhirnya meledak dalam tawa.
Oh God, Please Stop. Jangan sampai aku terinfeksi oleh virus lelucon bapak-bapak receh satu ini! Semakin lama aku merasa duniaku terancam jika suatu hari aku berubah menjadi seperti dia—perempuan dengan lelucon bapak-bapak receh. Astaga, itu adalah sebuah mimpi buruk. Tapi tidak dapat aku pungkiri kalau lelucon itu memang benar-benar lucu.
Saat tawa masih mengguncang tubuhku, tiba-tiba Aurora muncul dari belakang, menghampiriku dengan langkah ringan. Tanpa peringatan, dia langsung memeluk tubuhku dengan erat dan mendaratkan ciuman lembut di kedua pipiku. "Rain, kamu sudah sampai?" sapanya dengan senyum manis yang selalu membuatku merasa istimewa.
Om Albert langsung melotot ketika Aurora terang-terangan menunjukkan kemesraannya padaku di depannya. Melihat reaksinya yang kaget itu, niatku untuk menggoda pun muncul.
"Jangan iri, Om. Anak Om sekarang lebih sayang sama aku," candaku, disertai kedipan mata. Om Albert hanya mendengus kesal, sontak hal itu membuatku dan Aurora tertawa.
"Semua sudah siap, sayang?" tanya Om Albert pada Aurora, dan dia hanya mengangguk. "Yuk, kita berangkat."
Aku bingung—berangkat ke mana? Mereka belum memberitahuku apa-apa. Tapi aku hanya bisa mengekor mereka menuju pantai yang ternyata pantai pribadi mereka. Tak jauh dari situ, ada sebuah yacht yang terparkir dengan gagahnya.
"Kita mau ke mana?" bisikku pada Aurora. Dia hanya tersenyum misterius.
"Ara, Rain! Ayo buruan!" teriak Om Albert dari atas yacht.
Saat kami sudah naik, Om Albert langsung mengambil alih kemudi dan membawa yacht itu ke tengah laut. "Hari ini ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," bisik Aurora di telingaku. "Tadinya mereka mau merayakannya di Belanda, tapi karena masih di sini, jadi mereka memutuskan untuk merayakannya bersama kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me In
RandomSatu... dua... tiga... Hanya dalam hitungan tiga detik, dia mampu membiusku dengan auranya yang begitu mempesona. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali tidak aku kenal dan tetap mengharapkannya meskipun pertemuan itu sudah...