AURORA'S POV
Setelah hubunganku dengan Rain kembali membaik, aku tak lagi menyembunyikan apapun darinya. Semua seluk-beluk keluargaku, termasuk detail-detail yang tidak pernah kusampaikan sebelumnya. Terutama soal nenekku—yang bisa dipastikan akan menentang hubungan kami jika dia tahu kebenarannya.
Tapi untuk saat ini, aku tidak terlalu khawatir. Mama dan Papa selalu membantuku menyembunyikan hal ini dari keluarga besar, khususnya dari Oma dan kerabat lain yang seakan tak pernah lelah untuk ikut campur dalam hidupku.
"Di antara semua cucu Oma, cuma kamu yang belum menikah, Aurora. Mau sampai kapan?" suara Oma terdengar tegas di hadapan keluarga besar kami.
"Kamu lihat anak bungsu Tante, Ra? Umurnya lebih muda dari kamu. Sudah punya dua anak lucu-lucu," sambung Tante Erlin dengan nada menyindir.
Aku tersenyum tipis, bagaimana bisa dia menyindirku dengan pernyataan seperti itu, apa dia tidak malu. Aku sudah mencoba untuk menahan diri, tapi kata-kata yang aku tahan-tahan justru meluncur begitu saja. "Ya, tapi kan cerai, Tante."
Suasana ruang makan seketika membeku. Tatapan semua orang langsung beralih padaku. Oh Tuhan, ini buruk. Mama dan Papa sedang di Belanda, dan aku terjebak sendirian di rumah ini. Tidak ada satu pun orang yang akan membelaku sekarang.
Anak Tante Erlin, Hanny, juga memandangku dengan tatapan penuh amarah yang tertahan. Baiklah, aku tahu komentarku barusan kelewatan, tapi apakah mereka tak sadar kalau apa yang mereka katakan padaku juga sudah melampaui batas?
"Setelah makan malam, Oma mau bicara sama kamu," ujar Oma dengan nada datar, tapi jelas penuh peringatan.
Detik itu juga, suasana berubah drastis. Seakan ada alunan musik dramatis yang berputar di kepalaku, membuatku merasa seolah tengah bersiap menghadapi penghakiman.
*****
Setelah makan malam selesai, semua orang mulai beranjak dari meja. Aku berharap bisa menghilang begitu saja di antara riuh rendah obrolan keluarga, tapi takdirku sudah jelas. Oma tidak lupa dengan ucapannya, dan aku bisa merasakan tatapannya yang tajam menembus punggungku saat aku mencoba melangkah pergi.
Senyum puas penuh kemenangan terpampang jelas di wajah Tante Erlin dan Hanny. Seolah mereka sudah lama menunggu saat di mana Oma akan meledak marah padaku. Rasanya seperti mereka diam-diam berharap aku kena omel habis-habisan.
"Aurora, ikut Oma ke atas," perintahnya tanpa ada sedikitpun celah untuk menolak.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Apa pun yang akan dibicarakan Oma, aku tahu ini takkan mudah.
Kami duduk berseberangan. Oma di kursi kayunya yang besar dan penuh wibawa, sementara aku di sofa yang terasa terlalu empuk, membuatku semakin tidak nyaman.
"Kamu tahu apa yang ingin Oma bicarakan, Aurora?" tanyanya dengan nada tenang, tapi dingin. Setiap kata keluar dengan hati-hati, tapi penuh tekanan.
Aku menatap lantai, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Soal pernikahan, Oma?"
"Benar," jawabnya cepat, tatapan tajamnya tak pernah lepas dari wajahku. "Tapi bukan hanya soal pernikahan. Oma ingin tahu, kenapa kamu, satu-satunya cucu Oma yang belum menikah bahkan Oma gak pernah liat kamu memperkenalkan seorang pria ke keluarga ini, dan sampai sekarang tidak juga menunjukkan tanda-tanda untuk serius."
Aku menggigit bibir bawahku. Ini lebih sulit dari yang aku bayangkan. Aku tahu, satu saja ucapan yang salah dan seluruh rencana untuk tetap menyembunyikan Rain bisa hancur. "Oma, Ara... Ara belum siap," ucapku akhirnya, memilih kata-kata dengan sangat hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me In
RandomSatu... dua... tiga... Hanya dalam hitungan tiga detik, dia mampu membiusku dengan auranya yang begitu mempesona. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali tidak aku kenal dan tetap mengharapkannya meskipun pertemuan itu sudah...