RAIN'S POV
Sejak pagi tadi aku mendapati Aurora yang terlihat murung, entah apa yang sedang mengganggu pikirannya. Apa ini ada hubungannya dengan neneknya yang selalu menanyakan hal pernikahan padanya.
"Kamu kenapa sayang?" tanyaku sambil memeluknya dari belakang.
"Hah? Eh uhm..."
"Kamu lagi ada masalah? Aku lihat dari tadi kamu murung. Apa ada masalah lagi sama Oma?" Aurora hanya menggeleng dan mengeratkan pelukan tanganku di perutnya.
"Rain..."
"Kenapa sayang" jawabku lembut.
"Kamu pernah donor darah gak?
Aku menggeleng dengan cepat karena aku tidak pernah melakukan hal berbahaya seperti itu. Bahkan saat pengambilan sampel darah untuk tes DNA pun aku merasa terpaksa. Kalau bukan untuk tes DNA aku tidak akan membiarkan sesuatu yang tajam menyentuh kulitku.
"Sama sekali? Kenapa? Kamu takut jarum?"
Aku hanya diam, menahan rasa malu yang muncul. Tiba-tiba, Aurora berbalik dan menatapku.
"Kamu beneran takut jarum?"
"Nggak" kilahku
"Sebenarnya..." Aurora menghentikan ucapannya dan tampak kembali berpikir. "Temen aku lagi butuh darah, kemarin aku dari rumah sakit dan ternyata darahku belum cukup. Dia masih membutuhkan satu kantong lagi"
Aku menelan ludahku dengan berat. Apa Aurora akan memintaku untuk mendonorkan darahku.
"Apa kamu mau bantu aku untuk donor darah? Cuma satu kantong aja, Rain," pintanya dengan nada penuh harap.
Seketika, aku menarik napas dalam-dalam. Jujur saja, aku takut melakukan hal berbahaya seperti ini, baiklah, mungkin aku terlalu berlebihan karena menyebut donor darah sebagai hal yang berbahaya. Tapi itu memang hal berbahaya untukku. Namun melihat Aurora yang begitu berharap padaku, aku tahu aku tidak bisa mengecewakannya. Dengan sekali anggukan, aku bisa melihat wajahnya kembali tersenyum setelah satu hari ini dia tampak murung.
*****
Keringatku terus mengalir deras saat melihat jarum suntik yang dipegang perawat. Berkali-kali aku menelan ludah saat melihat perawat lain menyuntikkan jarum itu ke nadi pendonor di sebelahku.
"Jangan pingsan dulu, ya," ujar Aurora yang duduk di sampingku, sambil mengusap lembut punggung tanganku, seolah menenangkan bahwa ini bukan masalah besar.
Aku kembali menarik napas dalam-dalam saat seorang perawat mendekati kami. "Rileks ya, kak. Nggak sakit kok," ujarnya, seolah tidak ada beban. Tentu saja dia tidak merasa beban, karena akulah yang terjepit di situasi ini.
"Kamu nggak usah lihat itu," Aurora membawaku ke dalam pelukannya. Namun, rasa penasaranku terlalu besar untuk diabaikan. Aku tetap menoleh ke arah tanganku yang akan ditusuk jarum.
Ketika jarum itu mulai menyentuh kulitku, seketika aku berteriak kencang. "AAAAaaakh!" Teriakanku yang menggema tiba-tiba mereda saat aku menyadari jarum yang menusuk kulitku tidak terasa seburuk yang aku bayangkan. Oh, jadi begini rasanya disuntik saat sadar. Not bad.
"Gak sakit kan?" tanya Aurora sambil tertawa. "Makanya, jangan lebay dulu!" ledeknya padaku, dan aku pun tersenyum menahan malu karena sempat berteriak begitu kencang tadi.
"Aaww" pekikku ketika Aurora menarik rambutku. "Ra..." ucapku tertahan
"Maaf sayang, tadi aku liat ada uban, makanya iseng nyabutnya. Maaf ya hehehe"
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan dirinya hari ini.
Ketika perawat membawa kantong darahku ke ruangan lain, Aurora tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Sebentar ya, sayang. Aku mau ke toilet dulu," ujarnya sambil berlari, seakan sudah menahan diri sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me In
RandomSatu... dua... tiga... Hanya dalam hitungan tiga detik, dia mampu membiusku dengan auranya yang begitu mempesona. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali tidak aku kenal dan tetap mengharapkannya meskipun pertemuan itu sudah...