Enyahlah dariku.....
Hanya satu kalimat itu yang terus terngiang-ngiang di telinga Marsha di dalam ruangan gelap dan kotor ini. Ruangan yang sama dimana pemuda itu ada bersamanya. Pemuda itu masih mengenali dirinya dan menyebut namanya, meskipun harus diselingi oleh kenyataan pahit yang harus ditelannya mentah-mentah.
Ia diharuskan berhadapan dengannya bukan sebagai teman dan bahkan pemuda itu dengan dingin mengarahkan laras senapannya tepat di dahinya. Haruskah ia bersyukur kepada takdir?
Apa yang ia tunggu-tunggu selama tiga tahun ini dan doa yang selalu ia ucapkan sepanjang malam untuk keselamatan pemuda itu memang terkabul. Marsha memang dipertemukan lagi dengannya dalam keadaan hidup, namun mengapa harus ditemukan sebagai seorang musuh yang harus ia hadapi?
Bang bang!
Suara tembakan dari dalam pasars berhasil menyadarkan Marsha dari lamunannya. Ia segera mengusap kasar sisa air mata di pipinya dan segera keluar dari gudang itu untuk berkumpul kembali dengan rekan-rekannya. Dari informasi yang ia terima dari transmisi, ternyata Zee dan Aya berada pada tempat yang berbeda. Zee masih kebingungan mencari lokasi pertemuan ditengah-tengah kerumunan massa yang berlarian, sementara Aya masih sibuk memberikan instruksi ke keduanya.
Ditengah-tengah pelariannya, terdengar suara pekikan ngeri dari seorang perempuan bersamaan dengan terjatuhnya seorang pria dari lantai dua. Entah apa yang terjadi, kerumunan massa semakin bertambah padat akibat rasa penasaran kepada pria yang jatuh itu. Merasa keadaan semakin runyam, Marsha menundukkan badannya serendah mungkin untuk menyusup keluar dari kerumanan massa itu. Sampai akhirnya ia mendengar transmisi lain yang mengejutkannya.
"Marsha.... Zee....L-Lari... Jangan kesini!" Teriak Aya.
Suara rintihan seniornya itu membuat seluruh tubuhnya tegang.
Apa yang terjadi disana?
"Senior Aya, apa yang terjadi?!" Tanya Marsha.
Tidak ada jawaban dari Aya.
Dengan khawatir, Marsha mengabaikan peringatan Aya dan berlari ke arah tempat yang awalnya mereka janjikan. Namun, tak lama langkahnya terhenti saat ia mendengar suara lain yang datang dari transmisi, bukan suara Aya maupun Zee.
"Aku lihat kalian sepertinya sedang bermain-main dengan kami, dasar tikus-tikus kotor." Suara seorang pria yang terdengar sinis membuat tubuh Marsha merinding.
Siapa ini?
Apa yang terjadi pada senior Aya?
"Kalian akan mendapati nasib yang sama dengan jalang ini. Satu persatu dari kalian akan... MATI!"
Trststtts-----
Setelah itu terdengar sebuah suara yang menyerupai benda terinjak. Tidak terdengar lagi suara apa-apa dari transmisi seniornya itu. Marsha kemudian meneruskan perjalanannya dengan senjata yang ia siagakan. Dari kejauhan dapat didengarnya suara pekikan dari kerumunan. Ia melihat kesana dan mendapati satu sosok berjubah hitam yang tengah keluar dari kerumunan dan terlihat menjauh dari lokasi.
Marsha merasakan firasat buruk dan segera berlari ke arah kerumunan itu. Ia mengabaikan sosok yang berjubah hitam itu dan mendorong orang-orang yang berkerumunun agar bisa melihat apa yang sedang mereka saksikan. Wajahnya terkejut saat ia berhasil masuk ke kerumunan tersebut.
Disana, sosok seniornya terbaring dengan genangan darah yang membasahi tanah di sekelilingnya. Marsha segera bersimpuh di samping tubuh seniornya dan memangku tubuhnya. Keadaan seniornya itu bisa dikatakan tengah sekarat, ia masih bernafas namun harus bersusah payah melakukannya. Di bagian dada kirinya keluar darah segar yang tidak berhenti mengalir, matanya menatap kosong dan tidak berdaya.
Tanpa Marsha sadari, air mata mulai mengalir dari pipinya ketika ia menekan luka tembakan pada dada Aya yang tidak memberikan dampak yang signifikan. Marsha memandang marah orang-orang di sekitarnya yang hanya diam menonton tanpa melakukan apa-apa.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN?! CEPAT PANGGIL BANTUAN!" Teriaknya.
Meskipun, sebenarnya ia tau bantuan apapun yang datang akan sangat terlambat melihat kondisi Aya yang tengah sekarat. Dengan tenaga terakhirnya, Aya memegang pergelangan tangan Marsha dan bersusah payah untuk bicara.
"L-La.....ri..." Rintihny.
Aya seakan-akan ingin memperlihatkan lengan kanannya. Isak tangis Marsha mereda saat ia melihat sebuah benda asing yang terlihat seperti sebuah arloji di tangan seniornya. Sepertinya benda itu di pasang paksa dan tidak bisa dilepas. Arloji itu terlihat aneh dengan empat digit angka yang sepertinya bukan untuk menunjukan waktu, tetapi terlihat seperti pengatur waktu yang terus berjalan mundur tiap detiknya.
Bom?!
Tak salah lagi, itu adalah sebuah bom. Dengan sisa waktunya yang kurang dari satu menit. Ia harus segera pergi dan meninggalkan ketua tim nya itu. Marsha menatap pilu ke arah Aya dan dapat ia lihat Aya menganggukkan kepalanya pelan. Dia ingin Marsha segera lari dari ini. Dengan senyuman terakhirnya, Aya mencoba menyemangati rekan setimnya dan dengan pasrah menerima takdirnya disini.
"Maaf... Maaf...."
Hanya itu kata yang bisa Marsha ucapkan sebelum ia mencoba untuk berdiri. Tapi, gadis naif itu masih tidak sanggup untuk meninggalkan sosok seniornya itu sampai akhirnya sebuah tangan menariknya paksa dan menyeretnya untuk berlari menjauh dari sana. Ia segera mengenali sosok yang menariknya itu ternyata adalah rekan setimnya yang lain, Zee.
Pemuda itu terus mengajaknya berlari menjauhi lokasi bom dan menghindari tempat-tempat yang mudah terbakar. Air mata Marsha terus mengalir sementara kakinya terus berlari mengikuti kemanapun Zee menariknya, menjauhi lokasi pasar. Tak berapa lama mereka berlari, terdengar suara dentuman dari arah belakang mereka. Keadaan menjadi kacau, meski bom itu hanya berskala kecil dan tidak menimbulkan banyak korban, kecuali seniornya.
Langkah mereka untuk menyelidiki Apsara telah terbongkar, semuanya sekarang menjadi sangat berbahaya. Kedua seniornya telah menjadi korban dan mungkin mereka berdua lah target sasaran selanjutnya, seperti yang dikatan pria dalam transmisi tadi. Mereka akan diburu satu persatu.
Marsha menepiskan tangannya dari cengkraman Zee. Ia bingung dan tidak tau harus bagaimana. Dengan nafas yang memburu, keduanya bertatapan satu sama lain. Zee cukup kebingungan dengan tingkah Marsha saat ini. Apa yang ia lakukan di tengah-tengah keadaan yang genting ini. Seharusnya mereka lari, bukannya malah berhenti.
"S-senior Aya.... Dibunuh. Dia dibunuh Zee. A-aku melihatnya....Aku melihatnya..." Ucap Marsha dengan tersengal-sengal. Air matanya tidak berhenti mengalir.
"Aku tau." Zee mengangguk,
"Siapa yang tadi menangkapmu di pasar?" Tanyanya.
"K-kak G-Gita. G-Gitasena Radheya." Marsha terbata-bata ketika menyebut nama itu.
Zee cukup terkejut mendengar fakta tersebut, namun ia tidak bertanya lebih lanjut ketika melihat kondisi Marsha yang terlihat sangat terpukul.
"Kita bicarakan nanti. Kita harus pergi dari sini." Zee berusaha meraih pergelangan tangan Marsha lagi, namun gadis itu kembali menepisnya.
"B-bagaimana dengan jasad senior Aya?"
"Dia sudah mati, Marsha" Kedua tangan Zee menggenggam pundak Marsha dan mengguncangnya agar ia sadar.
"Kau tau dia sudah menjadi abu. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Dengarkan aku Marsha, kita harus segera pergi sebelum keberadaan kita diketahui oleh Apsara. Kita harus pergi sekarang juga!"
Marsha yang terguncang tidak menjawab. Dia hanya terdiam kaku dengan tatapan kosong. Melihat itu Zee memutuskan untuk melakukan tindakan.
"Ck! Kau yang memaksaku melakukan ini."
Bugh!
Dan beberapa saat kemudian Marsha kehilangan kesadarannya.
Tbc........
Yak, satu lagi karakter di cerita ini berubah menjadi ubi- eh enggak deh maksudku berceceran menjadi debu wkwkwkw
Dah gitu aja, jangan lupa vote ya babi.
Yang mau nyawer, link saweria ada di bio.
Adioss
© MgldnMn
KAMU SEDANG MEMBACA
Aquiver
ActionTangisan Marsha semakin keras ketika ia menyadari orang yang dicintainya telah tiada. "Selamat tinggal, Gitasena Radheya, aku Marsha Lenathea akan selalu mencintaimu." Disclaimer ‼️ • Cerita ini 100000% FIKSI!!! • BxG • Gender Bender • Mohon maaf ji...