10. The Kid, Alpha

332 61 8
                                    

Marsha membiarkan gerai rambutnya dibelai oleh angin di pagi hari. Saat ini ia tengah menunggu bos barunya yang tengah mengurus administrasi hotel. Mereka akan pindah pagi ini. Marsha berjalan mengikuti Zee yang mengenakan kacamata serta tas ransel kecil di punggungnya. Langkah kaki pemuda itu begitu panjang membuat Marsha kewalahan mengikutinya dengan tubuh mungilnya itu. Zee memanggil taksi dan menunggu Marsha yang ketinggalan di belakangnya.

"Bergeraklah lebih cepat, Marsha. Kita tidak sedang berlibur." Bisik Zee ketika ia memasukkan barang mereka ke bagasi.

Marsha yang mendengar itu mendengus kesal sambil menggembungkan pipinya.

"Kita memang sedang berlibur bos, kita datang kesini sebagai TURIS. Jangan lupakan identitas kita disini."

Zee mengacuhkan kata-kata Marsha sambil sibuk menata barang mereka. Ia lalu membuka pintu belakang dan duduk dalam diam. Marsha begitu kesal melihat itu, ia mengutuk Zee berkali-kali. Untuk kali ini, ia berharap Oniel cepat datang dan menolongnya dari bos menyebalkannya ini. Tak lama, taksi itu kemudian berjalan menjauhi area hotel mereka.

Beberapa menit setelah pergi dari hotel lamanya, Zee menyuruh supir taksi itu berhenti di depan sebuah gedung modern bertingkat yang tampak seperti sebuah apartemen atau rumah susun. Di lantai bawahnya terdapat sebuah minimarket dan tempat laundry, sedangkan lantai sisanya menyerupai sebuah rumah susun. Beberapa diantaranya memiliki sebuah beranda yang tampak diisi dengan jemuran. Zee kemudian mengeluarkan sejumlah uang dan turun dari taksi tanpa berkata apa-apa ke Marsha. Marsha terpaksa mengikuti langkah Zee sambil mengambil barang bawaannya.

"Kita akan tinggal disini. Berharap saja ada tempat kosong untuk kita berempat." Ucap Zee tiba-tiba tanpa berkompromi dengan Marsha. Marsha hanya memutar matanya malas, percuma saja ia berdebat dengan pemuda itu.

.
.
.

"Baiklah kami akan menyewa ruangan ini selama seminggu. Tapi tidak menutup kemungkinan juga kami akan memperpanjangnya."

Marsha menatap bosan pada Zee yang tengah melakukan negoisasi untuk kamar mereka. Setelah beberapa menit, akhirnya Zee menyelesaikan urusannya. Ia berjalan menghampiri Marsha lalu melemparkan kunci tempat tinggal mereka. Keduanya lalu memasuki ruangan yang akan mereka tinggali selama beberapa hari kedepan.

"Marsha, di dalam tasku ada sebuah teropong. Pergilah ke beranda sambil melihat-lihat pemandangan selama aku pergi. Kau suka melihat pemandangan yang menarik, kan?"

Setalah mengatakan itu, Zee pergi meninggalkan Marsha yang sedikit kebingungan. Apa sih sebenarnya tujuan pemuda itu. Meski begitu Marsha tetap melakukan instruksi Zee dan berjalan ke arah beranda sambil membawa sebuah teropong.

Gadis itu kemudian mulai menggunakan teropongnya untuk mempelajari keadaan lingkungan sekitar. Dari ketinggian tempatnya itu, ia dapat melihat dengan jelas beberapa tempat seperti, mini market, klinik, hotel dan beberapa tempat umum lainnya. Pandangannya lalu beralih kepada sebuah bangunan tingkat dua bercat kuning dengan sebuah papan tanda bertuliskan angka '665'. Marsha tercengang.

Bukankah itu adalah lokasi yang dicurigai oleh Zee sebagai tempat penembakan agen Pucco? Jadi itu alasan bos barunya memilih tempat ini.

.
.
.

Pria berambut putih itu mengangguk sambil sesekali bergumam ketika mendengarkan perintah dari ponselnya. Di depannya duduk seorang pemuda dengan raut dingin khas miliknya, ia terlihat tenang dan tidak peduli pada isi pembicaraan Bara dengan atasannya. Setelah mematikan teleponnya, Bara menyeringai ke arah Gita sambil menyerahkan sebuah amplop coklat.

"Persiapan rencana kita sebentar lagi akan selesai. Tapi kau tau tikus-tikus Pemerintahan itu masih ada yang tersisa. Victor sudah melenyapkan salah satunya dan sisanya... Akan kuserahkan padamu, Gita."

AquiverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang