BAB 7 : Pijat

1.7K 247 20
                                    

(Selesai Revisi)

***

Angin malam mulai berhembus menyapa bunga-bunga di halaman rumah Allen. Membuat beberapa kelopaknya berjatuhan menghiasi tanah cokelat yang sedikit basah karena gerimis siang tadi.

Pinggang Allen terasa akan patah setelah ia selesai menyiapkan makan malam. Lantaran pekerjaan rumah tak ada yang menyelesaikan, Allen lah yang menjadi korban.

Ia harus mencuci pakaian kotor ayah, ibu, serta kakak-kakaknya yang tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Syukurlah ada mesin cuci dan pengering otomatis yang dibelikan Freya, jika tidak, Allen akan menangis darah.

Belum lagi halaman depan setiap hari selalu terdapat daun jatuh yang tentunya harus di sapu. Allen jugalah yang menyapu dan menggunting beberapa tanaman agar tetap rapi. Karena itulah saat ia melihat Felix yang mau mencuci pakaiannya sendiri di sampingnya sore itu, membuat Allen semakin menyayanginya.

Semua pekerjaan rumah harus Allen selesaikan hari ini karena besok ia akan mengantar Felix untuk mendaftar ke SMP favorit di sana.

Felix yang tengah duduk di sofa ruang tamu sembari mengisi formulir pendaftaran online di laptop miliknya, memiringkan badannya sedikit untuk mengintip Allen yang sedari tadi merintih menahan pinggangnya yang encok di ruang makan.

Entah harus tertawa atau kasihan, Felix tak tau. Namun karena tanpa sadar ia telah memiliki sisi lembut untuk Allen, ia menyerah dan menutup laptopnya kembali.

Setelah peregangan sebentar untuk menghilangkan pegal di bahunya karena terlalu lama duduk, Felix menghampiri Allen di ruang makan, lalu duduk di samping pria yang sedang memijat pinggangnya sendiri itu.

"Om, mau Felix pijat?" tawar Felix, tangannya dengan hati-hati menyentuh pinggang Allen.

Allen yang sebenarnya ingin mengeluh lebih lama, seketika terdiam saat Felix datang. Ia tersenyum manis dan membelai surai merah Felix dengan sayang. Biasalah, ingin membangun citra bagus di depan Felix, alias caper.

"Tidak apa kok sayang, kamu panggil yang lain gih. Makan malamnya sudah siap," tutur Allen lembut.

Tadinya Felix ingin kekeh untuk memijat pinggang pamannya yang sakit terlebih dahulu, tapi karena jam dinding telah berdentang menunjukkan pukul 07.15, Felix akhirnya menurut dan mengetuk kamar kakek nenek serta ayah ibunya. Walau Felix baru sebentar tinggal di rumah neneknya, akan tetapi ia telah sadar jika kondisi Allen sedikit sama dengannya.

Walau Rey dan Leyla memberikan kasih sayang kepada Allen, tetapi mereka selalu sibuk dengan kegiatan masing-masing, seolah mengalami puber kedua. Apalagi Freya dan Dieran, mereka selalu menempel bersama seperti panci dan tutupnya.

Beberapa menit kemudian meja makan di kelilingi oleh para anggota keluarga. Ruang makan yang tadinya sepi, kembali ramai dengan percakapan sederhana dan suara dentingan alat makan.

"Oh iya... kak Freya! Al udah bangun toko kue sendiri loh! Dua hari lagi bakal ada perayaan pembukaan, kakak, ibu, sama ayah bisa datang kan?" tanya Allen penuh harap. Sumpitnya tak berhenti mengambilkan tahu tuna untuk Felix.

Freya sedikit terkejut, namun ia juga merasa bangga pada adiknya. Ia tersenyum tipis dan memuji Allen, walau terdengar sedatar papan cucian, "Selamat ya, akhirnya kamu bisa sukses. Tapi besok kakak sama Dieran harus ke luar negeri lagi, sekitar sebulan."

"Ya ampun, maaf ya sayang. Ibu dan ayah juga harus ke rumah temen ayahmu hari itu, katanya ada keadaan darurat. Tapi kami akan tambah uang sakumu ya, Al?" sesal Leyla, ia merasa bersalah tetapi tak bisa membatalkan acara bersama suaminya.

"Ayah juga akan kasih kamu uang jajan nanti. Semangat ya," ucap Rey lembut seraya mengacak rambut Allen yang tergerai.

Dieran pun hanya terdiam, menatap Allen yang hampir menangis dengan tatapan tak tega. Namun ia juga tak bisa melakukan apa-apa, setelah keluarga mereka yakin untuk tak menyembunyikan Felix lagi, mereka berdua semakin sibuk dengan pekerjaan.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Allen, ia berusaha keras agar tak menangis di depan Felix yang tengah menatapnya dengan khawatir.

"Selalu begini... ." Ucap Allen lirih.

"Aku udah kenyang. Al tidur duluan ya," kata Allen seraya berdiri dan pergi menaiki tangga untuk kembali ke kamarnya. Ia pun hanya makan sedikit, tanpa memakan dessert yang sudah ia siapkan tadi.

Rey dan Leyla saling menatap dengan rasa bersalah, sedangkan Freya menghela napas dan memijat pangkal hidungnya. Apa Allen tak bisa mengerti? Mereka itu sibuk! Bukan berarti mereka sengaja tak datang.

Felix juga meletakkan sumpit miliknya karena tak memiliki napsu makan lagi. Tatapan tajam ia layangkan kepada kakek nenek serta ayah dan ibunya. Dengan tenang ia berdiri dari kursi makan dan berkata dengan dingin, "Sekarang aku tau kenapa om berusaha ngasih Felix semua kasih sayang yang dia punya."

Tanpa menoleh, ia menyusul Allen ke lantai atas. Bagaimanapun, Felix merasa khawatir dengan keadaan Allen, apalagi kejadian tadi mirip sekali dengan kesehariannya di luar negeri bersama ayah ibunya saat ia masih di Taman Kanak-kanak. Dimana ayah dan ibu Felix selalu tidak bisa datang ke acara di sekolahnya.

Sesampainya di depan kamar Allen, Felix langsung masuk karena pintu berwarna biru pastel itu terbuka sedikit. Disana Allen sedang berbaring tengkurap di tempat tidur sembari memeluk boneka hiu imut miliknya dengan erat.

Tubuhnya bergetar lembut seakan ingin menangis tetapi ia mati-matian menahannya. Felix merasa hatinya tertusuk jarum-jarum kecil yang membuatnya sesak dan perih. Alisnya bertaut menahan emosi marah yang entah ingin ia lampiaskan kepada siapa.

Perlahan Felix mendekati Allen dan duduk disebelah pamannya itu, ia berkata dengan nada selembut mungkin, "om... aku pijat ya pinggangnya?"

Walau Felix seakan bertanya, namun ia tak mengharapkan jawaban. Tangannya menyibak piyama Allen memperlihatkan punggung putih nan halus sang empu. Lalu dengan ahli, tangan Felix memijat di titik-titik yang sakit. Membuat Allen menjerit terkejut dan menolehkan kepalanya dengan ekspresi kesakitan, ditambah sudut matanya yang sedikit memerah karena menahan air mata.

"Aahh! Sakittt... Felix, udah. Om gapa-akhh!" pekik Allen putus asa, ia berusaha menahan tangan Felix. Tetapi anehnya tangan anak itu tak bergeser sedikit pun.

"Hic... Nghh... s-sakit," ringis Allen dengan suara teredam bantal. Sarung bantal itu bahkan sudah basah oleh air mata Allen.

Felix berpura-pura tuli dan terus memijat pinggang pamannya, yang sepertinya memang sedikit memar karena Allen kelelahan. Felix memang sering terjatuh dan mengalami berbagai luka fisik karena bermain basket ataupun ajaran boxing dari ayahnya. Karena itulah ia pun tau dimana titik-titik tubuh yang harus di pijat agar memperbaiki otot.

Felix melakukan ini demi kebaikan Allen sendiri, jika ia tak memijat pinggang Allen sekarang, maka itu akan membuat Allen tak nyaman lebih lama.

Pekik dan jeritan Allen terdengar hingga ruang makan yang tentunya masih ramai karena Rey dan yang lain belum masih menyantap makanan di meja.

Mereka berempat saling menatap bergantian dan terdiam.

"Freya, itu Allen di apakan anakmu?" tanya Leyla sembari menatap arah tangga dengan khawatir.

"..." Dieran hanya terdiam sembari menggaruk tengkuknya canggung.

"Tenang saja Bu, Allen tidak akan mati. Paling pingsan," ucap Freya lugas, seakan mempercayai anaknya 100%.

Rey pun hanya berdehem dan melanjutkan makannya. Mereka berempat kembali makan dengan tenang, ditemani oleh jeritan serta suara Allen yang memohon kepada Felix agar anak itu berhenti.

***

Ekhem, anuu... Mint bingung nih

Bab ini kek rada aneh gak sih?
😭

Gimana menurut kalian? Mint harus revisi beberapa bagian gak?
🙂

Becomes the Villain's Uncle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang