15. Medicine, Please!

9K 1.2K 338
                                    

"Barusan lihat CCTV dari pertama putri saya datang, disambut Pak Wiwit, lalu pintu ditutup begitu aja dan nggak ada yang mengawasi dia nyabrang sendiri di jalan. Padahal apa susahnya ditanyai dulu? Putri saya bukan anak bayi, dia udah 7 tahun, ditanya mau apa, pengin ketemu siapa, udah bisa jawab. Misal takut nggak mau jawab pun, apa nggak bisa ditunggui atau dibujuk masuk?"

Lantai dua kantor Arif Prakasa itu hening, suara hanya didominasi milik Nadiem yang terlihat sama sekali tidak menutupi wajah marah dan nada kesal.

Bagaimana tidak? Kanaya kecelakaan, kedatangan Nadiem disambut dengan tangisan anak itu di pelukan Ami. Merintih sakit memanggil-manggil mami dan papinya. Nadiem seperti orang gila tadi, membawa Kanaya ke klinik bersama Ami yang masih mengenakan gaun tidur yang perempuan itu promosikan.

Cukup di klinik karena Kanaya tidak terluka parah sebetulnya—walau Nadiem tetap teramat sangat khawatir seperti orang sinting—putrinya terluka di telapak tangan, sobek cukup dalam, lalu pada lututnya sebab digunakan anak itu untuk menopang tubuh.

Sekali lagi, Nadiem bersyukur Kanaya tidak terluka lebih selain itu.

"Bukan cuma karena ini putri saya, ke anak customer yang datang pun, apa pantas bersikap begitu? Enggak pointing ke siapa-siapa, sesuai kesadaran aja. Ini juga bukan juga cuma tanggung jawab front office, tapi semuanya. Tanpa terkecuali, tolong bersikap baik dan pantas ke siapa pun yang datang," Nadiem mengamati wajah-wajah para karyawannya, berhenti pada Lesya yang berdiri di paling ujung lantas membuang napas.

Memang sudah saatnya, sudah selayaknya dia memperkenalkan Kanaya sebagai putrinya. Entah apa yang mereka pikirkan perihal Nadiem nanti, dia tak peduli. Biarkan Arman saja yang menjelaskan semisal ada yang kelewat kepo.

"Tadi putri saya, namanya Kanaya. Semisal dia datang ke sini entah sendiri atau sama ibunya tolong langsung ajak masuk, jangan biarin sendirian di luar. Begitu aja, maaf motong waktu istirahat kalian, bisa dilanjut lagi."

Perempuan berambut coklat yang mengenakan kemeja bergaris itu memandangi kepergian bosnya. Jangan ditanya betapa bergemuruh dadanya sedari tadi, gabungan antara panik, takut, dan yang paling mendominasi adalah terkejut.

Putri Nadiem, katanya.

Bisa jadi dua hal, perempuan di ruko itu adalah janda dan sudah dalam hubungan serius dengan Nadiem hingga menganggap si bocah tadi seperti anak sendiri.

Atau ... perempuan itu adalah mantan istri Nadiem dahulu?

Teman-temannya sudah membubarkan diri sambil berbisik-bisik akan tetapi Lesya masih terpaku di tempatnya. Dia tidak sepolos itu untuk tidak memahami arti tatapan marah Nadiem, terlebih pada dia dan sungguh, yang tadi adalah kali pertama Lesya melihat Nadiem semarah itu.

"Gara-gara Lesya, Cuuuuuk! Kena semprot kita semua."

Mendengar celetukan Eril, Lesya mendengus. Iya memang salahnya sendiri, lancang menutup pintu di depan anaknya si bos.

Bodoh memang.

"Lesya apa Pak Wiwit, sih?" tanya Baim.

"Pak Wiwit disuruh ngecek kran, Lesya yang nutup pintu."

"Yeeee, aku mana tahu itu bocil anaknya Bos," kilah Lesya membela diri. Sudahlah dia patah hati kena sinis Nadiem, sekarang disalah-salahkan oleh yang lain pula.

"Mau bukan anaknya Pak Nadiem pun harusnya enggak langsung kon jebret aja itu pintu. Kasihan, Cuk. Dateng pengin ketemu bapaknya, malah digituin," Rifki yang sudah duduk di kursinya menimpal, lelaki itu sudah bisa menarik benang merah sekarang. "Pasti merasa tertolak itu, ngambek makanya ngacir nyelonong nyebrang."

Ain't Your DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang