17. Papi's Gonna Bring the World

10.2K 1.2K 308
                                    

Haii! Kemarin dan tadi sibuk banget, untungnya bisa luangin waktu buat matengin bab ini. Selamat membaca, seperti biasa, ramein yaaaa!








Hari-hari biasanya hambar, gersang. Yang mewarnai jam-jam monokrom Nadiem hanyalah keringat yang dia kucurkan saat berolahraga, makanan enak yang dia temukan di pinggir jalan, masakan mamanya yang hanya bisa dia kunjungi di akhir pekan.

Cuma itu.

Sisanya? Abu-abu, hitam putih, membosankan.

Sedangkan hari-hari terakhir ini, Nadiem seperti sedang tenggelam di lautan warna. Bagian-bagian yang dia kira sudah usang kini kembali muncul ke permukaan, terang benderang, yang kosong melompong mulai terisi.

Siapa lagi jika bukan karena sang putri?

Dia kini bisa tidur dengan letupan bahagia menunggui pagi untuk bertemu Kanaya, menyuapinya, mengajak Kanaya ke mana pun anak itu mau, membelikan apa saja, menanggapi tiap celotehnya.

Bertahun-tahun Nadiem memendam rindu dan kini sudah tumpah ruah diterima oleh pemiliknya.

Kanaya, putrinya...

"Papi..."

Panggilan lirih masuk ke telinganya dan membuat Nadiem seketika mengangkat lengan yang semula dia pakai untuk menutup wajah. Netra memerahnya terbuka penuh, menyorot ke seluruh ruangan lalu berhenti pada sosok yang berdiri di ujung tangga.

"Papi, aku bangun lagi..." Kanaya berjalan dengan sedikit susah payah, satu tangan memegangi railing sementara yang lain memeluk boneka hiu yang dibelikan Nadiem kemarin siang. Melihatnya, Nadiem segera bangun.

"Aku nggak bisa bobo kalo nggak ada temen, Papi..."

Anaknya yang terkadang bisa bukan main manjanya. Nadiem tersenyum walau mungkin tidak begitu terlihat mengingat pencahayaan yang minim. Dia angkat tubuh Kanaya supaya tak bersusah payah berjalan lagi.

"Mau ditemenin Papi?"

Kepala Kanaya terangguk.

"Bobo sini Papi temenin aku ya Papi?"

"Di sini? Nggak di dalem?"

"Nggak pa. Mau sama Papi."

"Papi ambilin selimut sama bantal dulu ya?"

"Nggak. Aku gerah keringeten, nggak mau selimutan terus mau bantal ini aja," ditunjukkannya boneka hiu tersebut pada Nadiem.

Kanaya dia turunkan di kasur yang sudah terhambar di lantai. Tentu tidak senyaman dan seempuk yang ada di dalam, namun putrinya sendiri yang ingin, Nadiem bisa apa?

"Kebangun terus, kepalanya nggak pusing, Nak?" tangannya mengusap bulir keringat dan rambut-rambut nakal yang menempel di wajah Kanaya. Nadiem menata bantal yang tadi dia pakai untuk kini dipakai anak itu.

"He-eng ... aku nggak bisa bobo kalok sendirian. Papi...."

Mata Nadiem terpejam saat jari-jari gendut Kanaya merayap di wajahnya.

"Papi bobo sini, napa Papi nggak pulang?"

Sebagai ayah, tempat pulang Nadiem adalah putrinya. Bagaimana bisa dia tidur nyenyak di ranjang besarnya sedangkan di sini, sang putri sakit, ketakutan, bingung, dan mengerjakan apa saja sendirian?

Tidak bisa, Nadiem tidak akan melakukannya.

"Nanti kalau Papi pulang, Nai sama siapa?"

"Sama Mami..."

"Kan Mami sakit."

"Tapi Papi nggak dimarah? Nggak pa Papi di sini aja?"

Mata Nadiem terbuka sekarang, bersirobok dengan mata bulat milik Kanaya yang tampak bening, seolah anak itu sudah kehilangan kantuknya.

Ain't Your DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang