26. Their Prince

10.5K 1.3K 204
                                    

Bab ini full Mbak Savi dan tentang masa lalunya Papi.




Selalu, bukan lagi biasanya, selalu Savitri meluangkan paling tidak setengah jam tiap dua hari sekali untuk bertelepon dengan sang adik. Membahas pekerjaan, keseharian, kesehatan, apa saja yang adiknya makan, apakah lelah, apakah tidurnya nyenyak.

Sungguh, tidak perlu ditanyakan seberapa besar sayangnya Savi kepada Nadiem. Jika Nadiem meminta sesuatu, apa pun akan dia berikan. Jika Nadiem butuh, Savi akan jadi orang pertama yang datang. Di bahagianya, di masa anak itu yang paling berduka, Savi tidak pernah membiarkan Nadiem menanggung sakit sendirian.

Mungkin sebab sedari dulu mereka saling membahu. Orangtua yang melepas keduanya untuk mencari jalan membuat mereka terbiasa bergandengan. Jangankan kerikil, badai besar pun pernah mereka atasi berdua.

Namun akhir ini nampaknya berbeda.

Tidak ada pesan dari sang adik, tidak ada panggilan telepon, tidak ada kiriman hadiah atau makanan tiba-tiba.

Sunyi, sepi.

"Udah Ashar? Ya Allah, Mas Nadiem ... kan salat di kantor bisa kalau emang seenggak bisa itu ke masjid, Mas. Jangan dibiasakan nunda-nunda, selama kamu merasa badanmu bersih, ya salat'o. Misal nggak yakin, bawa baju dari rumah, mandi di kantor. Bangun kebiasaan baik, Mas. Bukan buat siapa-siapa ini, bukan buat Mama, cuma buat dirimu sendiri. Ya Mas, ya?"

Sementara telinganya mendengarkan suara sang mama yang tengah bertelepon, netra Savi menyorot foto-foto yang berdiri cantik di meja, dibalut bingkai penuh ukiran yang Savi ingat sekali dipesan ayahnya secara khusus kepada tukang langganan.

Foto-foto itu berderet, menampilkan orang yang sama dengan wajah-wajah yang berbeda.

Nadiem, adiknya, dari mulai masih bayi merangkak...

"Kalau ada rezeki lebih, hari jumat pesen makanan buat dibagikan pas jumatan. Atau sekadar buat anak-anak di kantor."

Lalu Nadiem yang memakai seragam taman kanak-kanak, tertawa memamerkan gigi hitamnya sementara Savi di belakang, memeluk sayang.

"Jangan lupa buat terus memudahkan urusannya orang lain, Mas Nadiem."

Ada lagi saat Nadiem sudah beranjak besar, sudah SMP seingatnya. Berfoto di depan Eiffel Tower, wajahnya tampak malas karena saat itu mama mereka memaksa untuk berpose. Saat itu, Nadiem memang sedang badung-badungnya. Malas belajar, suka ketiduran di kelas, kata gurunya pacaran melulu berkirim-kirim surat dengan adik kelas, bahkan pernah dapat laporan Nadiem membuka jasa joki tugas untuk kelas-kelas lain, supaya dapat uang buat beli PS katanya. Ya pintar memang, walau bangor begitu tidak pernah gugur dari 5 besar.

Namun di mata Savi, Nadiem tetaplah seperti adik kecil yang manis, yang selalu mau dia mintai tolong, yang sering membawakan jajanan dari sekolahnya untuk Savi lalu mereka makan diam-diam di gudang karena jika mama tahu, sudah pasti mereka kena marah.

"Mbak, aku bawa mie lidi pedes!"

"Mbak, aku bawa telur gulung micinnya tak suruh buuuanyakin!"

"Mbak, ayo beli mie terus dimakan sama bumbunya yang nggak usah digodok dulu itu lho, Mbak."

Memang terkadang badung, namun Nadiem bukan anak manja, tidak pernah menyakiti temannya, pemberani, tidak hitung-hitungan untuk membantu. Nadiem juga pandai mengaji, selalu salat lima waktu, saking rajinnya ke masjid dia beberapa kali diberi hadiah untuk menjadi muazin lalu akan pulang dengan bangga pamer pada mereka semua.

"Suaraku tadi bagus kan, Ma?"

"Tadi lho orang-orang denger suaraku semua."

"Kata Ustaz bagus tadi aku dikasih lima ribu tak beliin telur gulung. Nggak pake saos kok, Ma. Telur thok, Ma."

Ain't Your DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang