20. Midnight Tears

9.2K 1.2K 199
                                    

Maaf ya aku baru sempat matangin. Bab ini cukup pendek tapi menguras air mata bangetttttt (seenggaknya buatku kemarin) siap-siap.

Selamat membaca....

.











Selama bertahun-tahun bersama Ami, Nadiem tidak ingat kapan terakhir wanita ini menangis. Ami tidak mudah menjatuhkan air mata. Wajah cantiknya lebih senang menunjukkan air muka dongkol alih-alih pamer kesedihan. Setidaknya itu yang Nadiem ingat.

Jadi saat melihat Ami tampak sebegini berantakan, keadaan jiwa dan hatinya bisa jadi betul-betul hancur atau mungkin lebur.

Belum ada yang bersuara di antara keduanya, Ami masih tergugu sementara Nadiem enggan memberikan kalimat penenang sebab dipikirnya, hal itu tidak akan banyak mengubah. Yang Ami butuhkan sekarang hanyalah tempat menangis.

Jari-jarinya memberikan usap pada punggung yang terlapisi satin tipis milik si wanita. Kedua netra Nadiem turut memejam, antara ikut merasai lara perempuan di pelukannya, atau justru terbius akan hangat dan aroma harum yang menguar dari kulit dan rambutnya.

Apa pun itu, keduanya nampak kelewat nyaman, dan ... seharusnya ini tak normal. Tidak ada riwayat perpisahan yang baik, mereka membuat jarak dengan meleburkan perasaan benci dan duka. Kebencian milik Ami, sementara Nadiem menggenggam dukanya. Mereka bukanlah pemilik raga yang merindu, tidak seharusnya begini.

Namun jika hati mempersilakan, kenapa ditolak mati-matian?

Tidak ada yang merugi karena ini, kan? Jadi, seharusnya tak apa.

"Mas Nadiem..."

"Iya?"

Lembut sekali bicaranya, seperti seorang pria yang bercakap dengan si kekasih. Seperti lelaki yang berhadap pada pujaan hati.

Ami meregangkan peluk, kepalanya mendongak hingga Nadiem kembali bisa melihat netranya yang memerah.

"Udah nangisnya?"

Mengangguk.

"Mau cerita sekarang?"

Mengangguk lagi. Nampaknya tidak ada satu pun dari mereka yang ingin mengurai dekap. Sebab lihat, Ami masih saja mencengkeram jaket Nadiem kuat-kuat, sementara telapak tangan besar si pria juga masih berada di punggungnya.

Ami bergerak mundur, membuat Nadiem mau tak mau mengikuti hingga tubuh belakang Ami menabrak dinding.

"Berantem sama Mama Rieke?" buka Nadiem, gerah melihat helaian rambut yang menempel di pipi basah Ami, jadi dia usap dan rapikan memakai telunjuknya.

"He-em..."

"Berantem kenapa?"

"Aku— Mama nikah lagi, aku udah bilang Mas Nadiem?"

"Belum."

"Mama nikah lagi, berantem sama anak sambungnya karena Mama terlalu nuntut. Aku— nasehatin. Ujungnya berantem."

Nadiem jelas melihat bagaimana bibir Ami yang kembali bergetar.

"Ujungnya aku— dikatain. Aku nggak bisa kasih dia apa-apa, nggak jadi apa-apa, udah dia gedein tapi nggak bisa apa-apa," tak sampai dua detik, mata Ami kembali berair. "Iya emang bener, dari dulu pun Mama sering bilang begitu. Harusnya aku terbiasa, tapi makin lama justru makin sakit aku rasain," Ami tersengal, satu tangannya melepaskan pegangan pada Nadiem demi untuk mengusap air matanya sendiri.

"Peganganku harusnya cuma Mama, tapi dia giniin akuuuuu terus, kerasanya aku sendirian, nggak punya apa-apa, nggak punya siapa-siapa. Sakiiiit banget waktu diolok-olok kalau aku nggak jadi apa-apa. Padahal dia berharapnya apa? Aku masih kecil udah disodorin ke Herdi disuruh nikah sama dia, lalu ada Nai. Bapaknya pergi, neneknya begitu, Nai punya siapa kalau bukan cuma aku? Nai sama siapa kalau aku tinggal kerja? Nai siapa yang nemenin? Siapa yang ngerawat? Darah nifasku bahkan masih ngucur tapi Mama udah nyodorin laki-laki lain," Ami mendongak lagi, memamerkan wajahnya yang basah akan air mata. "Mama girang bukan main waktu tahu deket sama Mas, tapi ujungnya—"

Ain't Your DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang