13. Tak bisa dipegang

117 6 0
                                    

"Udah, ga usah dipikirin terus!" Gian berbicara kepada Citra. Gadis itu dari tadi tampak diam dengan wajah merengut, Gian bisa melihatnya dari kaca spion.

Gian memilih mengantar Citra pulang, daripada harus mengantar Bianca.

Citra mengeratkan pelukannya di pinggang lelaki itu. Lalu menenggelamkan wajahnya di punggung Gian. Dia terisak, lalu menangis.

"Aku ngebut," ujar Gian.

Lelaki itu menambah kecepatan motornya. Dia tau, gadisnya sedang sakit hati saat ini. Ini semua karena ucapan Bianca.

***

"Lo cowok bukan, sih?" Bagas menyentak Gian. "Ga usah sok-sok an jadi pacar adek gue! Baru beberapa hari aja ucapannya udah nggak bisa dipegang."

Gian diam. Banyak bicara hanya akan membuat masalah. Bagas memang benar, Gian adalah lelaki yang ucapannya tidak bisa dipegang.

"Awalnya ngomong sendiri, katanya mau nganter jemput Citra. Mana? Ucapan lo nggak bisa dipegang sama sekali!" Bagas tampak emosi. Sedangkan Gian, dia hanya diam sembari menatap wajah Bagas dengan tatapan datar. Tak mau mengajak adu, itu hanya akan membuat masalah.

"Kak Bagas! Gian itu udah bela-belain nyempetin nganter aku pulang!"

Melihat Citra yang sedang mencoba membela Gian. Bagas memberikan tatapan tajam dengan wajah kesal.

"Kamu dari dulu kayak gitu, ya! Belain terus, belain!" Citra menunduk takut ketika Kakaknya tiba-tiba membentak.

"Untuk beberapa hari kedepan, jangan temui Adek gue! Sampai gue ngizinin kalian ketemu lagi, baru boleh!"

Degg!

***

"Kamu kemana aja, Gian! Kenapa Bianca pulang naik taxi? Kok nggak bareng kamu?"

Lelaki itu tampak bingung untuk menjawab pertanyaan dari ibunya. Jika dia jujur dan menceritakan semuanya, pasti ibunya tidak berpihak kepada dirinya.

"Aku habis nganterin pacarku." Gian berkata jujur.

"Bianca kamu tinggalin?" tanya Marisa.

"Iya."

Setelah mendengar jawaban putranya. Marisa menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. "Ya Allah, Gian. Kamu itu bikin Papa sama Bunda malu. Udah dikasih amanah buat jagain Bianca, tapi malah ditinggal pulang bareng orang lain."

Gian menghela nafas panjang. "Bun! Aku nganterin pacarku, bukan nganterin orang lain." Gian tampak tak suka ketika Marisa menyebut Citra sebagai orang lain.

"Bunda tau, tapi kamu itu nggak ngejaga amanah kamu, Gian! Bunda malu sama Papanya Bianca."

Lelaki itu meraup wajahnya frustasi. "Emangnya Gian nggak malu, Bun?" Gian bertanya sembari tersenyum sedih. "Gian udah janji ke Kakaknya pacar Gian. Kalo Gian bakal antar-jemput adeknya. Tapi Gian terpaksa ngingkari, karena dipaksa Bunda buat nganter-jemput Bianca. Gian juga malu Bun, Gian malu!" Lelaki itu menekan ucapannya di akhir kalimat.

Jika seseorang berada di posisi Gian, dia yakin kalau orang itu juga akan merasa bingung seperti dirinya sekarang.

Antara menuruti perintah ibunya, menjaga amanahnya, atau menepati janjinya.

Sungguh! Gian benar-benar lelaki yang munafik! Ucapannya tidak bisa dipegang sama sekali. Gian akui hal itu.

Lelaki itu berjalan masuk meninggalkan ibunya. Ia berjalan menaiki tangga, lalu masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan tak karuan.

"Gian! Lo munafik!" Lelaki itu meninju pintu kamar yang baru saja ia tutup dengan kasar.

Gian ingin menenangkan pikirannya dengan cara mengurung diri di dalam kamar.

***

Dion
[Malem ini ikut gue ke club nggak?]


***

Gimana kabarmu para reader's?
Masih menunggu GLMG update?
Semoga sehat selalu, yaww💗

Jangan lupa VOTE ‼️
Untuk penyemangat author.
Aku rajin update, lho🥰

Kalo tiba-tiba lama update, itu ada kesibukan, ya! Atau lagi down.
Karena nggk di sayang sama kamu!
Eh, salah!
Nggak dapet vote dari kamu maksudnya, hiks ...🥲

Jangan lupa VOTE ‼️
Sampai jumpa di chapter selanjutnya 👋

Gadis Lugu Milik GianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang