Strawberry Tea

166 6 4
                                    

Kriinggg

Dengung suara lonceng tatkala Brian membuka pintu cafe. Seorang pramusaji menyapanya ramah.

"Untuk berapa orang kak?" tanya Pramusaji tersebut sambil mengukir senyum.

"Ehm saya sudah ada reservasi,dari anak-anak university war"

"Silahkan di lantai atas ya kak, dekat jendela, untuk pesan menunya bisa menggunakan QR ya kak, ada di meja." Ujarnya. "Kak kalo boleh nanti minta foto dan tanda tangan ya untuk di pajang."

"Iya boleh mba." Brian tersenyum manis sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Silahkan."

Sepatu vans hitam Brian menapaki anak tangga untuk sampai ke lantai dua. Ia mengenakan kaos berkerah berwarna coklat tua dengan celana jeans khaki.

Hampir satu tahun sejak pindah ke kota pahlawan dia belum pernah menyapa teman-temannya, mantan kontestan university war yang berdomisili di sini. Sebetulnya bukan sekali dua kali mereka mengundang Brian, sayangnya kesibukannya di sekolah spesialis menghalanginya. Baru kali ini ia bisa menyapa mereka secara langsung.

Dari jauh Brian melihat sekumpulan wajah yang ia kenali. Mereka duduk di sudut cafe berlatar belakang sinar matahari yang cerah ceria. Hari ini adalah hari yang spesial, anak-anak Surabaya ini bersikeras hadir, dari mereka ada empat perempuan dan dua laki-laki, tiga jika nantinya ditambah Brian. Mereka tampak tertawa terbahak-bahak saat menyimak cerita dari perempuan yang duduk di paling ujung.

"Dokter Brian," seru Shafa sambil melambaikan tangannya ke arah Brian. Seketika semua menengok ke arah Brian sambil ikut melambaikan tangan.

"Sorry, telat ya," seru Brian sambil tersenyum manis saat menghampiri perkumpulan di meja panjang itu.

"Sora, sori, joget sek ayo geh gek ndang," goda Bagas.

"Duduk, duduk dulu pak dokter, ini pasien-pasiennya uda pada nungguin," kata Hatice yang duduk di ujung tengah-tengah meja bak memimpin acara perjamuan. Dia mengenakan cardigan kuning dengan embroidery bunga daisy berwarna putih, untuk kerudung dia memilih hijab model bawal malaysia berwarna fanta yang dijulurkan hingga ke dada.

"Harusnya kak Brian duduk tengah lah, dia yang paling waras," kata Kaitlyn.

"Oh ya ya ya, aku tak pindah." Hatice langsung beranjak dari kursinya, tapi Brian mencegahnya dan langsung duduk di kursi yang memang sedari awal kosong.

"Pesen makan dulu Brian," kata Shafa sambil menyerahkan papan QR. Karena pesanan dilakukan secara digital, jadi Brian bisa memesan makan sambil mendengar pembicaraan teman-temannya.

"Brian ki suibukkk kae, dihubungi mesti nggak bisa jaga, nggak bisa jaga, asline yang mungkin mumet nek ketemu makhluk-makhluk koyo awak dewe iki." Bagas menyindir Brian yang nggak pernah sempat untuk kumpul bersama mereka karena takut stres.

"Tolong bocah kabupaten pake bahasa indonesia aja ya, nanti pak Dokter minum paracetamol ini ndengerin kita ngegas," Damian menasehati Bagas.

"Tapi awal-awal dia emang sempat, kita live kan, terus kak Brian tanya, emang orang surabaya itu kalo ngomong biasa gitu tetep ngegas itu ya, nggak tau sampe sekarang masih ngerasain culture shock apa enggak."

"Sudah mulai terbiasa, sudah nggak terlalu kaget." jawabnya seusai mengorder satu sup iga dengan air putih.

"Tapi emang kan kalo di jawa tengah itu kan bilang mangkane itu mulakno ya, kita kalo ngomong mulakno ta, gitu lak nggak enak sih, nek bilang mangkane talah dadi arek ojo yok yok o gitu kan kayak mantep gitu."

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang