PTSD (Post Tea Stressed Dissorder)

33 7 2
                                    

Sebagian besar hari pertama Hatice rawat inap hanya diisi oleh tidur, tidur dan tidur. Setiap Brian datang ke kamar Hatice dia selalu tertidur. Di hari kedua tingkat kesadaran Hatice mulai stabil. Siang ini dia terjaga dan mulai belajar makan bubur.

Saat jam makan siang tiba Brian menyusuri lorong rumah sakit dengan membawa kantung plastik berisi belasan roti lapis. Senyumnya ramah menyapa semua orang yang dikenalnya. Suasana hatinya tampak lebih baik hari ini. Dia berhenti sebentar di meja perawat dan meletakkan roti lapisnya di sana.

"Nggak usah repot-repot dokter Brian."

"Nggak papa, semangat kerjanya." Ucapnya sambil melamabikan tangan. Ia terus tersenyum hingga pipinya membuat lesung pipit yang tak pernah ada sebelumnya.

"Haduh seger banget ya kalo bisa lihat yang bening-bening kayak dokter Brian." Bisik salah seorang perawat pelan.

"Kalo bukan karena pacaranya dirawat di sini mana bisa liat dokter bening di bedah umum mana ada yang bening, kinyis-kinyis, mending pindah aja ke kulit." Ujar perawat senior sambil memandang ke arah dokter Brian yang tengah berbicara serius dengan salah satu dokter PPDS bedah. Tampilannya bak langit dan bumi.

"Assalamualaikum," sapa dokter Brian memasuki ruang rawat Hatice.

"Waalaikumsalam," jawab Hatice.

"Kamu sendirian?" Brian melihat ke sekeliling ruang VIP tempat Hatice dirawat.

"Bukannya dokter tau aku bakal sendirian?" tanya Hatice sambil menunjuk ke arah kotak nasi yang tergeletak di atas meja pasien.

Hatice berusaha duduk perlahan. Dia memiringkan badannya, kemudian bangun perlahan. Brian dengan sigap membantunya.

"Sudah bisa duduk sendiri?"

"Aku bahkan sudah bisa lari sekarang, tiap jam-menit-detik ada aja yang datang ke sini buat ngajarin aku miringlah, duduklah, jalanlah."

"Mobilisasi dini pasca operasi itu baik untuk penyembuhan luka, dan melancarkan peredaran darah" Brian membantu menegakkan sandaran kasur Hatice. "Kamu belum makan? Kenapa? Makanannya yang hambar atau mau disuapin nih?"

"Katanya habis makan nggak boleh minum teh, tapi kenapa ya menu makanan di rumah sakit selalu ada tehnya?" tanya Hatice. "Aku masih Belum laper, dokter aja makan dulu, ini tadi kakak aku beliin gudeg, nggak tau ya dokter suka apa nggak."

"Aku makan setelah kamu makan." Brian bergeming membuat Hatice makan. Dia bahkan mulai membuka plastik wrap penutup makanan.

"Yaudah, gak usah makan siang." Jawab Hatice datar, tatapannya tegas mematikan.

Tiba-tiba suasana berubah canggung, "Kamu kenapa?" Brian merasa nada bicara Hatice berubah, seperti sedang marah.

"Aku mau tanya sesuatu. Tapi sebaiknya dokter makan dulu."

"It's okay, aku bisa makan setelah menjawab pertanyaanmu." Brian duduk di pinggir kasur sambil menatap lurus ke arah Hatice.

Hatice menarik nafas panjang dengan perlahan sambil menahan rasa sakit bekas operasi. "Aku minta maaf sebelumnya, jujur aja aku bukan tipe orang yang suka menebak-nebak, aku nggak suka hal yang rumit, aku suka kepastian. Dan apapun jawaban dokter nggak akan buat aku berubah sikap."

"Oke." Brian memutar bola matanya sambil mengangguk.

"Apa dokter tertarik sama aku? Apa dokter suka sama aku?"

Brian membetulkan kacamatanya karena canggung. Bibirnya mengulum karena merasa salting dan gugup dalam waktu bersamaan. Dia mengira Hatice akan menanyakan rumor pacaran diantara mereka yang tersebar satu rumah sakit dan menertawakan hal itu bersama. Namun ternyata Hatice menunggu ketetapan arah hati Brian.

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang