Untitled Part 19

28 8 1
                                    


Jam tangan Brian sudah menunjukkan lebih dari 10 ribu langkah, padahal jam masih menunjukkan pukul 13.00. Cafe di dalam rumah sakit penuh dengan pengunjung rawat jalan yang harus menunggu jam istirahat sebelum melanjutkan arena mereka. Di sudut Cafe itu duduklah sepasang dokter mengenakan scrub dalam hening.

Brian menyesap kopi bersama Nuvelle. Mereka tengah memanfaatkan waktu luang sembari menunggu pesanan kopi untuk seluruh petugas di ruang bedah anak siap.

"Tadi mau ngomong apa?" tanya Nuvelle sambil menghirup aroma kopi dari gelasnya.

"Ehmm.. mohon maaf ya mbak sebelumnya. Selama dua tahun terakhir aku berusaha memahami kondisi mbak Nuvelle yang depresi. Aku nggak tau apa penyebabnya, dan aku takut kalo aku bicara seperti ini nantinya akan bikin mbak Nuvelle semakin depresi, tapi aku ingin meringankan bebanku."

"Soal apa Brian?"

Brian mencengkram celana scrubnya. Dia sungguh takut menyakiti perasaan Nuvelle. Hampir dua tahun dia menyimpan rahasia ini sendiri, membebani pundaknya dengan rasa kasihan kepada Nuvelle, kini ia ingin menumpahkan semuanya. Betul kata ibunya dia harus punya keberanian untuk dibenci untuk meringankan bebannya.

"Aku pernah melihat suami mbak, selingkuh dengan sesama dokter di sini." Masih terbayang dalam benaknya adegan penuh gairah di ruang rapat bedah rumah sakit.

"Oh," jawab Nuvelle singkat sambil menyeruput kopi americano tanpa gula yang panas. "Aku sudah tahu soal itu."

"Mbak sudah tau?" Brian terkejut dengan reaksi Nuvelle.

"Aku juga tau siapa selingkuhannya, dan emang bener dia salah satu alasan depresiku."

"Maaf."

"Nggak perlu minta maaf, kalian, maksudku kamu nggak salah apa-apa."

"Aku nggak bisa bantu menyelesaikan masalah mbak Nuvelle, tapi aku bisa nggak ya mbak, berharap mbak bisa lebih aktif, sehingga rekan-rekan mbak yang lain bisa dapat waktu istirahat yang sama."

"Selama ini aku ngerasa kalian adalah hadiahku, karena aku biasa dibuang di rumah, sementara kalian terutama kamu Brian selalu mendahulukan aku. Tapi kata-katamu hari ini bikin aku sadar, kalau aku sudah kelewatan. Maafin aku ya."

"Aku nggak bermaksud melewati batas, tapi aku berharap, kalopun mbak mau bertahan di hubungan ini, ada alasan kuat dibelakangnya."

"Ehm, aku harus bertahan, seenggaknya sampai spesialis ini selesai, berpura-pura bodoh, aku nggak boleh gegabah. Kedepannya kalo kalian butuh aku, tinggal bilang aja, jangan bicara dibelakangku."

"Kedepannya jika ada waktu luang, aku ingin menggunakannya semaksimal mungkin itu untuk memperhatikan seseorang. Dia sedang sakit."

"Oooh, perempuan yang kapan hari di rawat di rumah sakit? Karena usus buntu itu?" Brian mengangguk mendengar pertanyaan Nuvelle.

"Aku senang kamu punya tumpuan untuk bersandar. Aku dengar Rarky juga punya pasangan anak koas, semoga aja mereka awet. Ehmm.. Hazel, gimana dengan Hazel?"

"Hazel? dia ... masih single."

Sementara Hazel tengah mengendong bayi berusia 3 bulan yang baru saja operasi kasai. Dia tak berhenti menangis meski sudah hampir satu jam berada dekapan Hazel. Rarky masuk keruang NICU dengan wajah setengah sadar. Dia meletakkan map di atas meja perawat dan menoleh ke arah suara tangisan bayi dalam dekapan Hazel.

"Gantian sini." Rarky menawarkan diri.

"Nggak usah."

"Jangan memaksakan diri, jangan menyakiti diri sampai mengorbankan pasien." Rarky mengambil balita itu dari tangan Hazel.

"Sssss...twinkle twinkle little star." Rarky menyayikan lagu. Balita tersebut nampak nyaman dalam ayunan Rarky.

"Aku bahkan ditolak sama bayi." Hazel menyandarkan dirinya ke dinding lalu menutup wajahnya.

"Jangan lebay, jangan jablay, jangan menyembunyikan perasaan, kalau suka bilang."

"Terus gimana? Nyatain cuma buat ditolak dan jadi asing?"

"Ya sapa tahu sebenernya Brian milih kamu daripada kamu patah hati setiap hari dan bertanya-tanya."

"Nggak bisa, kesempatannya 0." Hazel membentuk angka o dengan jari-jarinya.

"Tahu dari mana?"

"Kemarin aku bahkan ngeliat dia nulis surat buat perempuan itu sambil tersenyum."

"Kan gue dari awal udah bilang jangan jatuh cinta sama orang yang baik banget, godaannya berat."

"Menurutmu apa kekuranganku?"

"Jangan bodoh, kamu nggak kurang apa-apa, Brian cuma bukan jodoh kamu aja, kamu akan ketemu orang yang lebih baik suatu saat nanti." Rarky menatap ke arah Hazel yang mengerutkan bibirnya.

"Jangan sok dewasa, jijik." Hazel berkacak pinggang. "Kamu udah pernah lihat cewek yang dia suka nggak?"

"Enggak lah, aku nggak seniat itu ke departemen bedah umum sehari tiga kali."

"Aku udah ketemu dia, sekali, dia terlihat ceria."

"Yaiyalah haz, dia nggak harus jaga nerus kayak kita ege, nggak ada ada alasan buat sedih."

"Aku penasaran gimana rasanya dia dicintai sama Brian."

Sementara Hatice masih berada di rumah Aische. Sebagian besar waktunya ditidurkan oleh obat anti-depresan. Saat bangun dia hanya melukis dan melakukan kegiatan inti sebagai manusia pada umumnya seperti makan, mandi dan beribadah.

"Makan siang uda siap." Kata Aische dari dapur.

"Tice masih tidur?" tanya Afnan.

"Enggak tau, mas kapan rencana jemput baba bubu ke bandara?"

"Habis ashar berangkat ya."

"Oke."

"Kamu coba panggil Tice deh."

Aische beranjak dari dapur menuju kamar Hatice di lantai yang sama. Dia mengetuk pintu memanggil nama Hatice.

"Mahlzeit" seru Aische berkali-kali, mengingatkan jam makan siang dalam bahasa Jerman. Namun tak terdengar suara balasan.

Aische berlari mengambil kunci dari laci kamarnya di lantai dua. Dengan panik dan tangan gemetar ia membuka pintu Hatice.

"Tice!" Suara teriakan Aische mengisi ruang-ruang rumah. Aische memeluk hatice, badan kecilnya berusaha mengangkat tubuh Hatice. Darah mengalir dari kedua telinga Hatice, membasahi baju Aische. Cutter kecil tergeletak tak jauh dari tubuhnya dengan berlumuran darah.

Afnan menyusul Aische yang berteriak ketakutan. Ia segera membopong adik iparnya membuat bajunya bersimbah darah. Keadaan semakin pelik tatkala anak mereka ikut menangis, terkejut dengan suara panik keduanya. Mengabaikan pesan masuk di handphone Hatice.

Brian.RadjimanOng:

Hari ini aku memberanikan diri mengurangi kebisingan di otakku. Rasanya deg-degan tapi lega juga akhirnya.

Aku hari ini jaga, sudah stok snack buat makan malam. Kamu sudah makan?

Hatice, seberisik apapun isi kepalamu, tetaplah hidup.

Brian melirik ke arah deretan pesan tak terbalas di handphonenya, kemudian menghela nafas kesal. Matanya berusaha kembali ke arah layar komputer rumah sakit, tangannya meraih mouse hitam kecil namun tak sengaja menyenggol gelas disebelah sikunya. Dalam hitungan detik gelas itu pecah berkeping-keping. Semoga ini bukan firasat buruk, pikirnya.

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang