Tea-rs

34 8 1
                                    

Tak ada waktu bagi Brian untuk berkenalan, duduk di sofa empuk sambil menyesap teh suguhan saat bertemu keluarga Hatice. Sesi tanya jawab tak berlaku di momen genting seperti ini, Brian belum sempat memamerkan gelarnya yang sudah melalui percepatan S2 masih lanjut pendidikan spesialis, dan mimpi-mimpinya esok. Belum sempat juga ia mengutarakan keinginaseriusannya terhadap Hatice. Act of service Brian di uji, mencari Hatice tanpa bantuan polisi yang malah menyuruh minta bantuan rumah sakit jiwa. Mereka hanya saling bertukar nama, lalu bergotong royong mencari Hatice.

Iana keluar dengan baju putih dan cardigan panjangnya, menggandeng Hatice yang datang dengan pakaian putih dan rok hitam milik kakaknya. Hatice memeluk bubu dan babanya, lalu kakak dan adiknya memeluk kakaknya. Sangat susah menahan air mata jatuh saat itu. Brian memeluk Iana dan berterima kasih atas bantuan dan kebesaran hatinya terhadap Hatice. Lalu mereka semua pergi ke rumah Hatice.

Brian dan Iana masuk ke kamar Hatice. Mereka harus memastikan ruangan yang digunakan Hatice malam ini aman. Dinding kamarnya putih polos, namun banyak tempelan-tempelan hasil gambar Hatice di dindingnya. Otak Brian memproses benda-benda seni di kamar berukuran 3x4 itu. Seluruh tugas nirmana milik Hatice masih disimpan rapi bahkan dipajang dalam kotak akrilik. Tentu saja benda tajam seperti ini harus dikeluarkan.

Kuas dengan berbagai macam ukuran juga dikeluarkan karena memiliki ujung yang membahayakan. Segala gunting, cutter, solder, bor, paku, penggaris menjadi barang wajib untuk diungsikan.

Kini Brian beralih ke meja kerja Hatice. Meja yang dipenuhi oleh dua layar dengan satu alas gambar, wacom cintiq. Diatasnya terdapat puluhan gambar study character hingga setting backround dan storyboard. Brian mencabuti paku-paku di board milik Hatice sambil mengagumi karyanya, tentu saja dia tak bisa menggambar seperti itu, kemampuan menggambarnya sebatas anatomi tubuh manusia itupun hanya ia dan Tuhan yang tau cara membaca gambarnya.

Di salah satu gantungan paku, ada kumpulan doa umroh berbentuk persegi dengan ukuran 7x7. Brian penasaran dengan isinya. Lembaran awal berisi doa-doa rukun umroh. Semakin kebelakang isinya adalah doa-doa pribadi milik Hatice. Ia berhenti membaca di salah satu lembaran.

Ya Allah aku mau Engkau sendiri yang angkat seluruh rasa sakit ini. Jangan kirimkan aku seorang pasangan atau keluarga untuk memulihkan rasa sakit dan trauma ini. Sungguh aku percaya Engkau yang berikan ujian ini karena aku sanggup, maka Engkau pula yang akan mengangkatnya.

Di lembar selanjutnya Hatice berdoa tentang kriteria pasangannya.

Hanya setelah aku sembuh ya Allah, aku berdoa seseorang yang mencintai Engkau dan Rasulmu, yang imannya diatas imanku, mencintaiku sebagai perhiasan dunianya, orang yang menganggap impianku itu penting, yang membuatku nyaman dan merasa aman.

Membaca tulisan itu membuat Brian berkaca-kaca. Iana benar, Hatice terlalu berharga untuk Brian bukan sebaliknya. Gadis seceria itu harus bertarung dengan ketidak adilan dunia dari umur belasan, mengganti cita-citanya dari atlet menjadi illustrator. Saat menemukan jalannya di dunia animator, lagi-lagi dia dipatahkan oleh perilaku orang yang sungguh biadab. Namun poin pentingnya dia tak pernah sedikitpun, berpaling dari Tuhannya.

Ada kriteria fisik yang ditulis dengan tulisan tangan kecil sekali. Tinggi, putih, muka blasteran, berkacamata.

Kecuali blasteran yang dimaksud adalah campuran sunda-china, maka Brian masuk dalam doa-doa yang dilafalkan Hatice didepan ka'bah. Kali ini Brian menjadi begitu yakin bahwa perempuan yang menjaga dirinya untuk tak berpacaran hingga menikah itu adalah seseorang yang layak untuk diperjuangkan.

Iana selesai dengan pigura-pigura penghargaan dan piala milik Hatice. Ia kemudian mendatangi Brian yang masih terpaku di depan meja kerja Hatice. Brian menunjukkan lembar kecil doa itu kepada maminya. Tangan Iana mengusap lembut punggung Brian, memberinya kekuatan, seperti anak kecil Brian menyandarkan kepalanya ke bahu maminya untuk sesaat. Kemudian mereka keluar dari kamar yang lebih mirip galeri seni tersebut. Malam itu Hatice bisa tidur dengan bantuan obat yang diresepkan Iana.

Pagi-pagi sekali Brian dan Iana datang ke rumah Hatice kembali. Sesuai rencana mereka akan membawa Hatice pergi ke rumah sakit jiwa. Kondisi Hatice semakin buruk, ia tak memiliki nafsu makan, dan langsung memuntahkan makanan begitu menelannya. 

Seluruh keluarga membujuk Hatice untuk pergi ke rumah sakit, mendapat suntikan infus untuk tetap hidup. Kondisi Hatice seperti mayat hidup. Satu-satunya yang menandakan hidup hanyalah ia bernafas. Tak ada binar lagi di matanya, tatapannya kosong. Tidak ada yang bisa menebak isi kepalanya, hingga mereka tiba di rumah sakit.

Terkejut, itulah reaksi pertama Hatice saat dibawa ke rumah sakit jiwa. Ia enggan turun dari mobil, butuh waktu untuk membawanya keluar. Begitu keluar dari mobil Hatice langsung memeluk ayahnya.

"Bawa aku keluar dari sini ba, aku janji aku akan minum obat teratur dan datang terapi, get me out of here." Tangis Hatice sambil memeluk cinta pertamanya.

"Sayang berobatlah untuk sementara waktu, semakin intense pengobatannya akan semakin baik," bujuk ibunya.

"Bu, aku sudah pernah di sini dan nggak berakhir baik, tolong bu bawa aku pulang, baba tolong ba."

"Di sini dulu ya sayang," ucap Baba Hatice sambil berurai air mata.

"Aku nggak separah itu, aku bisa ceria lagi," rengek Hatice.

Aische, Afnan dan Gumayse bergantian berusaha melepaskan Hatice dari sang ayah namun tak berhasil. Sebagian kecil dari hati mereka tentu pedih melihat saudaranya sesesak ini menanggung rasa takut.

Perlahan Brian maju mendekati Hatice. Dengan kekuatannya ia memisahkan Hatice secara paksa kemudia membopong Hatice ke atas bahunya. Doktor dan perawat di rumah sakit jiwa menunjukkan kamar rawat inap tempat Hatice akan tinggal. Hatice mendongakkan kepalanya, untuk terakhir kali ia melihat keluarganya berderai air mata melepaskannya.

Brian menurunkan Hatice tepat didalam kamarnya. Seketika Hatice segera memukuli Brian.

"Hatice, hatice." Brian berusaha menghentikan Hatice yang terus memukul dadanya.

Ia berusaha memeluk Hatice untuk menenangkan, namun energi Hatice yang merupakan mantan atlet nampaknya setara dengan Brian, dengan mudah Hatice menampik keras pelukan Brian lalu menggigit lengannya keras karena kesal karena dibawa ke dalam penjara ini. Sesungguhnya Brian terkejut namun ia masih dapat menguasai dirinya, dia tahu ini bukan Hatice yang sebenarnya.

"Hatice, hatice, hatice dengarkan aku dulu." pinta Brian saat Hatice enggan melepaskan gigitannya.

"Maaf Hatice, maafin aku, aku-" Brian berusaha menahan sakit sambil bicara.

"Jangan berusaha lagi, istirahatlah." Hatice melepaskan gigitannya.

"Aku berharap kamu nggak pura-pura bahagia lagi, tapi benar-benar bahagia." Air mata Brian mulai meleleh. Ia menghapus air matanya untuk terlihat tegar.

"Thank you for holding on to yourself through all these difficult times, i'm proud of you. I promise you i'll never leave you alone. I'm so sorry for doing this to you. Sorry."

"Aku takut kak," ujar Hatice lirih.

"Aku nggak akan biarkan kamu sendiri, Allah nggak akan biarkan kamu sendiri, aku akan temenin kamu setiap hari, meski nggak ketemu langsung aku akan temenin kamu."

"Bohong, aku mau keluar dari sini."

"Bertahanlah sedikit lagi, ok, aku juga mau keluarin kamu dari sini, tapi semua ini buat kebaikan kamu, ok." Dengan ragu Brian mengusap kerudung Hatice. Lalu ganti menghapus air mata yang mengalir di pipi Hatice yang membuat matanya menjadi merah.

Punggung tangan Hatice juga menghapus air mata di pipi Brian. Semakin sesak rasanya dada Brian untuk meninggalkan Hatice, tapi dia harus melakukannya. Dokter meminta Brian untuk berpamitan terakhir kalinya pada Hatice. Disaat itu tangan Hatice justru menggenggam kuat tangan Brian, para perawat dengan sigap memisahkan. Bayangan menyedihkan itu yang terakhir terekam dalam ingatan Brian. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan menyisihkan waktu untuk kesembuhan Hatice.

Seluruh lutut dan sendi kakinya terasa lemas begitu keluar dari ruangan gawat darurat itu. Iana mendatangi Brian, dan tanpa banyak tanya memeluk putra bungsunya. Brian menangis dalam pelukan Iana, seluruh episode hidup hari ini diisi tsunami air mata dari dua keluarga.

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang