Tea-red (tired)

32 6 0
                                    

Mengenakan jaket gunung, Brian meringkuk di meja perawat. Tidur sambil duduk sudah menjadi hal biasa baginya. Dia tak bisa benar-benar tertidur dengan pulas, samar-samar dia masih mendengar suara denyut nadi di ruang PICU.

Begitu elektrokardiograf atau mesin rekam jantung mengeluarkan bunyi bahaya, Brian dapat langsung kembali pada kesadarannya. Meraih stetoskop dan berlari ke arah datangnya suara.

Setelah semalaman bertarung dengan efek samping operasi kasai, menjaga bayi berusia 2 bulan shubuhnya Brian harus berhadapan dengan code blue. Dengan sisa energi di tubuhnya, ia melakukan RJP pada seorang anak berusia 5 tahun. Belinda residen tahun pertama yang jaga bersama Brian panik menelfon konsulen mereka.

"Bel, gantian," seru Brian. Belinda mendekati bed pasien dengan tangan bergetar. "Udah aku aja." Brian melanjutkan RJP.

"Alfi, alfi, jangan pergi dulu nak, ayo nak bangun, sabtu besok Alfi mau dapet hati baru, dok tolong dok." Tangis Maya, ibu Alfi yang tiba-tiba masuk dan membuat kehebohan di ruang PICU.

"Sabar bu, sabar, ayo kita tunggu diluar," perawat PICU berusaha menenangkan.

"Dokter, tolong dokter kembalikan anak saya, kemarin dia baik-baik saja, dia makan dengan lahap dokter."

Brian melirik ke arah alat rekam jantung. Tak banyak perubahan yang terjadi. Keringat dingin juga mulai bercucuran di dahinya. Sekujur tubuhnya sakit, dia berharap konsulennya segera datang.

"Dokter tolong anak saya dokter," raung ibu Alfi.

"Sudah berapa lama?" tanya Surya datang dengan wajah panik.

"10 menit." Jawab Brian. Surya menggantikan posisi Brian.

Detak jantung Alfi tak kunjung kembali setelah hampir lima menit Surya melakukan RJP. "Kami mohon maaf, Alfi mengalami henti jantung."

"Anakku, Alfiiiiiiii, jangan pergi dulu nakkkk. Sayang, umma nggak bisa hidup tanpa kamu nak."

"Umumkan kematiannya," perintah Surya kepada Brian.

Brian menatap nanar kearah Alfi dan Maya. Rasanya di telapak tangannya masih terasa dingin tubuh Alfi tanpa detak jantung. Mata Brian terasa berair, entah mengapa dia tak kunjung terbiasa dengan pemandangan ini.

"Brian, fokus, kontrol emosimu."

"Pasien Muhammad Alfi Dirgantara dinyatakan meninggal pada 12 November 2024, pukul 06.05." Brakk. Sesaat setelah mengumumkan kematian pasiennya tiba-tiba pandangan Brian kehilangan kesadaran. Segera para perawat membantu Brian keluar dari ruang PICU.

Hampir 4 jam lamanya Brian tidur di ruang UGD. Brian berusaha kembali kepada kesadarannya. Semuanya tampak samar. Demam yang merajai tubuhnya sudah hilang, dia berusaha bangkit dan mencari kacamatanya. Setelah mengenakan kacamata, semua tampak normal, semua tampak baik-baik saja.

"Udah bangun Bri?" tanya Raffi, dokter UGD yang tiba-tiba muncul di balik tirai.

"Udah, raf."

"Suhu normal? Ada nyeri di perut? Pusing?"

"Aman, Raf."

"Yauda, cabut sendiri ya entar selang infusnya, beresin sendiri, yang mandiri jangan manja." Kata Raffi sambil mengetik pesan di handphonenya. Melihat rekan sesama professinya tumbang seolah hal yang biasa baginya. "Halo, eh rekan kalian uda sadar, buruan jemput."

Brian mengatur jalannya selang infus. Dia membuka ponselnya, bahkan setelah sadar dia langsung kembali hanyut dalam pekerjaannya.

"Brian!! Yaampun Bri, are you okay?" teriak Hazel heboh.

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang