Teh Jasmine

33 7 3
                                    

Never Gonna Give you up, dari Rick Astley mengalun menemani perjalanan yang panjang. Butuh waktu 15 menit untuk sampai ke tujuan. Selama 15 menit itu pula Hatice harus mendnegar dorongan-dorongan untuk meloncat dari dalam mobil. Tangannya menggenggam erat sabuk pengaman. kepalanya berdebat tentang versi mana dari dirinya yang bisa dipercaya.

Tak terasa mobil memasuki pekarangan rumah bergaya kolonial dengan pekarangan yang cukup lebar. Tak ada garasi dalam skema rumah tua ini, 5 mobil mampu masuk dalam pekarangannya.

"Ayo masuk," seru Iana sambil menunjuk ke arah pintu yang telah diubah menjadi gaya japandi, kayu-kayu coklat bernuansa hangat itu menyatu dengan gaya kolonialisme belanda.

"Anggap saja rumah sendiri ya, duduk Hatice," Iana mempersilahkan Hatice.

Rumah tempat Brian bertumbuh tampak hangat. Perabot jati mengisi sudut-sudut rumah. Jiwa seni Hatice membuncah melihat ukiran tembaga di lampu. Lalu pandangannya tertuju pada foto Brian saat masih muda, mungkin di usia SMA. Masih dengan behel dan mata yang tersenyum dibingkai kacamata. Pandangannya juga tak bisa menjauh dari foto-foto di pigura kecil yang tertata rapi di atas grand piano tua berwarna coklat. Foto masa kecil Brian yang gendut menggemaskan bak boboho menguasai pandangannya.

"Hatice mandi dulu ya, ini tante ada baju milik Brina, tante juga ada hijab paris ini." Iana keluar dari kamar, membawa setelan pakaian berwarna khaki dengan celana hitam dan hijab coklat pramuka.

Earth tone bukan warna yang dia sukai, namun tentu itu lebih bagus ketimbang celana piyama panjang bergambar kelinci dengan jaket hitam oversize yang ia kenakan.

"Kepalanya nggak usah dibasuh ya-" Iana mencoba menyentuh bagian telinga Hatice yang samar-samar terlihat terluka, namun Hatice segera menarik diri.

"Yasudah mandi dulu ya." Selangkah Iana mengambil jarak mundur. Hatice melihat ke arah lengan Iana, ada bekas luka bakar kecil-kecil di tangannya. Sedari tadi bekas luka itu tak terlihat tertutup snelli panjang berwarna putih.

Hatice melangkahkan kaki kirinya ke kamar mandi. Ia memperhatikan ubin biru kecil tua yang masih tertata rapi, sementara lantai kamar mandi sudah diganti dengan ubin yang baru. Tangannya memutar keran shower, kekiri dan kanan, mencari air hangat. Setelah menemukan setelan suhu yang pas, ia membiarkan badannya diguyur air. Lalu ada seberkas cahaya menimpa matanya. Sesaat kemudian Hatice sadar, dia betul-betul kembali pada kesadarannya.

Dengan nafas tersengal-sengal dia berusaha menata diri dan pikirannya. Rasanya ia ingin kabur bila mengingat sifat impulsifnya yang tiba-tiba pergi ke jogja kemudian menumpahkan semua perasaannya kepada Iana dan harus berakhir di rumah Brian. Tak ada jalan keluar selain pintu kamar mandi, mau tak mau dia harus menanggung konsekuensinya.

Kaki Hatice berjinjit saat keluar dari kamar mandi, ia berusaha membuka dan menutup pintu kamar mandi tanpa suara. Namun Iana memergokinya.

"Hatice sudah selesai, sini makan dulu." Panggil Iana.

Hatice panik. Ia mengenakan hijab tanpa peniti, Iana lupa memberi peniti untuk hijab paris satu ini. 

"Hatice?" panggil Iana lagi. Tak ada jawaban.

"Hatice?" Iana menghampiri Hatice, segera ia memalingkan muka.

"Hatice kenapa?" tanya Iana panik, ia berusaha menatap mata Hatice. "Kamu sudah sadar rupanya. Selamat datang di rumah tante."

Mata Hatice kembali hidup. Hal itu ditandai dengan ketertarikan Hatice akan benda-benda di rumah. Kondisi Hatice akan terus berubah-ubah, dan tak bisa ditebak. Kondisi paling parah bila halusinasinya kambuh, dia bisa saja tergiur menyakiti dirinya.

"Tante hari ini nggak masak, karena cuma tinggal berdua sama om jadinya nggak masak, kamu nggak papa kan sama makanan katering?" tanya Iana. Hatice mengangguk pelan.

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang